Minggu, 13 November 2011

Mulutmu, Harimaumu

Kawan pasti pernah mendengar pepatah diatas, "mulutmu, harimaumu". Maksudnya, apa yg kita ucapkan, akan mempunyai dampak bagi diri kita sendiri, baik itu positif maupun negatif. Lebih dalam lagi, artinya agar kita berhati2 dalam berbicara, jangan sampai menyakiti hati orang lain, apalagi menyakiti diri kita sendiri.

Aku pernah mengalaminya... Dua kali, malah. Well, sepertinya aku termasuk orang yg ndableg, sehingga tidak cukup 1x diingatkan oleh Allah agar berhati2 dalam berucap.

Kawan yg mengenalku sejak masih di bangku sekolah pasti tau, aku punya seorang abang (kakak laki2), namanya Wawan. Jarak umur kami hanya 1 tahun. Wawan meninggal pada tahun 1992 karena kecelakaan. Aku selalu siap menceritakan versi panjangnya. Tapi itu akan membuat entri ini menjadi panjaaaang sekali. So, aku hanya akan menceritakan versi pendeknya saja.

Wawan meninggal karena kesetrum saat mengerjakan pemasangan fiberglass untuk pagar rumah kami. Kejutan listrik dibadannya membuat dia jatuh terjengkang. Jatuhnya itu fatal, karena mengakibatkan dia terkena gegar otak, hingga akhirnya Wawan meninggal.

Kepergiannya yg sangat mendadak membuat aku tidak bisa tidur, tidak enak makan dan minum selama beberapa hari. Bahkan aku tidak bisa memandang fotonya tanpa menangis sampai selama 4 tahun! Well... memang bisa dibilang aku itu gembeng (bahasa Jawa, artinya gampang menangis). Tapi yah bagaimana, ya...? Namanya juga kaget, karena sesaat Wawan sehat, segar bugar, kemudian tiba2 dia terbujur kaku tak bernyawa.

Kalau ada yg bertanya, aku hanya bilang, "Kepergiannya mendadak sekali sih. Gak pake sakit, tau2 meninggal. Lain halnya kalo misalnya dia sakit selama beberapa waktu kemudian meninggal, kami keluarganya kan punya waktu untuk menata hati, sehingga lebih mudah 'melepas'nya."

Allah Maha Besar... Beberapa tahun kemudian, tepatnya pertengahan tahun 1997, Ibuku sakit. Dibilang parah, ya tidak. Tapi juga tidak bisa dibilang ringan karena setelah dirawat di RS selama 2 minggu untuk observasi, tidak juga ketahuan apa yg membuat penglihatan Ibuku menghilang. Sampai akhirnya pada bulan September, ada kecurigaan lain akan penyakit Ibuku.

Bulan Oktober tahun itu, Ibuku dibiopsi melalui jalan operasi. Barulah ketahuan, ternyata Ibuku mengidap satu jenis penyakit kanker kulit yg unik. Hampir selama 2 bulan Ibuku dirawat di RS, tapi kondisinya makin menurun, sampai akhirnya Ibuku berpulang ke rahmatullah...

Tidak butuh waktu lama, aku menyadari ucapanku waktu Wawan baru meninggal. Alhamdulillah, Allah memberiku kesempatan untuk merasakan ada anggota keluarga yg sakit, sampai meninggal. Ternyata, rasanya sama saja. Sama-sama tidak enak!!! Mau meninggal mendadak kek, mau meninggal setelah sakit beberapa lama kek, tetep aja hati ini nggak siap menerima kenyataan pahit itu.

Itu pelajaran berat yg kuterima sehubungan dengan pepatah yg kutulis sebagai judul ini. Tapi, bodohnya aku, hal ini tidak membuatku 'belajar' berhati2 dalam berkata2...

Kalau ada Kawan yg membaca posting statusku di facebook beberapa waktu yg lalu mengenai Bibi pembantu dirumah kami yg jutek, mungkin Kawan ingat aku pernah mengatakan bahwa dalam mencari tenaga pembantu rumah tangga, aku mementingkan kejujuran. Ketrampilan dalam memasak bukan yg utama. Alasanku, jujur itu bawaan "dari sononya", sesuatu yg nggak bisa dipelajari atau diajarkan, sementara kemampuan memasak bisa dipelajari.

Sekali lagi aku mendapat pelajaran berarti dari kejadian itu.
Ketika datang Idul Fitri, Bibi jutek itu pulang kampung. Kesempatan bagi kami untuk mencari tenaga PRT baru, kan? Alhamdulillah, kami mendapat kemudahan dalam mencari tenaga PRT. Tidak lama sesudah Lebaran, kami mendapat 2 orang tenaga PRT, 1 orang untuk kami (tugas utamanya memasak), dan 1 orang lagi untuk keluarga adikku yg tinggal di paviliun.

Ndilalah... Si Bibi yg tugasnya masak, orangnya entah pelupa, atau grogian, atau apa lah, sehingga kalo masak, adaaaa aja yg salah... Entah bumbunya lah yg salah, atau bahan2nya lah yg keliru, atau cara masaknya yg 'ajaib'...
Astaghfirullah....

Orangnya memang jujur. Dan kelihatan dari bahasa tubuhnya bahwa dia bener2 berusaha dg sebaik2nya. Dia tau dia memiliki kekurangan, dan itu ditutupi dg kemampuannya dalam hal lain, misalnya dalam hal nyapu-ngepel dan bersih2 serta nyiram tanaman, dia rajin dan bagus kerjanya. Sayangnya, malah dalam 1 hal yg penting, yg justru menjadi tugas utamanya (yaitu memasak), dia malah agak nyeleneh... Walau (untungnya), rasa masakan dia memang enak.

Misalnya, dia pernah aku minta membuat orek tempe. Sebelumnya, sudah beberapa kali dia memasak masakan itu. Tapi kali itu, dia membuatnya tanpa kecap manis... Jadi lah orek tempe bule...
Atau waktu dia mau memasak soto ayam. Walau sudah mencontek resep dari temannya (yg dia tulis sendiri), bumbu2 yg dihaluskan warnanya merah karena dimasukkan juga 2 cabai merah besar... Sejak kapan bumbu soto ayam pakai cabe merah? Kecuali soto Padang, barangkali ya... Tapi kan aku nggak minta dia bikin soto Padang... :-(

Well... I guess, I'm asking for it, huh? Allah bener2 mendengar perkataanku dan 'mengabulkannya'...
Alhamdulillah, ya Allah... Terima kasih Engkau sudah mengingatkan aku untuk selalu berhati2 dalam berucap, menjaga perilaku dan kata-kata... Aku harus sabar dan ikhlas menghadapi Bibi yg satu ini. Aku harus bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar