Jumat, 20 November 2015

Ke Cirebon (lagi)



Dengan mulai dioperasikannya jalan tol Cipali, jarak tempuh dari Jakarta ke kota Cirebon bisa dipangkas hingga hampir setengahnya. Kalau dulu, kita bisa menghabiskan waktu sekitar 6-7 jam menuju Cirebon, maka sekarang hanya perlu waktu sekitar 3 jam saja untuk ke Cirebon. Mas Harry memprediksi, bahwa Cirebon akan segera menggantikan kota Bandung sebagai kota tujuan berlibur jangka pendek atau menengah bagi warga Jakarta.


Hari Sabtu tanggal 14 November 2015, aku dan mas Harry memutuskan ke Cirebon, walaupun rencanaku dengan teman2 untuk kesana batal. Kami berangkat dari rumah sekitar pk. 08.10. Setelah mengisi BBM, kami masuk jalan tol JORR (Jakarta Outer Ringroad) di gerbang Cakung Barat pk. 08.34. Tujuan pertama, pemandian air panas Banyu Panas di Palimanan. Believe it or not, itu adalah hasil browsing mas Harry for the very first time in his life… To honour that, aku setuju aja kesana, walau udara panas. Maksudku, panas2 kok ya mau berendam air panas, gitu loh...



Pk. 11, kami keluar pintu tol Palimanan, lalu menuju ke Banyu Panas, yang masuk daerah Gempol. Ternyata, lokasinya itu persiiiis bersebelahan dengan pabrik semen Indocement. Bayanganku bahwa pemandian air panas itu di daerah pegunungan yg adem, tenang, bersih, langsung buyar.

Lokasinya tidak terlalu jauh dari pemukiman. Walau jalan masuknya cukup dekat, tapi tidak tersedia angkutan umum. Mau tidak mau, kita harus menggunakan kendaraan pribadi.

Suasana adem juga tidak kami dapatkan. Ditambah lagi, kami tiba disana menjelang tengah hari. Silau, gerah, sepi, dan tidak ada ruangan berendam keluarga. Yg tersedia hanya kolam terbuka untuk umum. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak jadi berendam. Kami hanya foto2 sedikit di sekitar kolam, sekedar buat bukti kalo udah nyampe sana.



Dari Banyu Panas, kami kembali masuk ke jalan tol, lalu keluar di pintu tol Plumbon. Kami mengisi perut di Griya Dahar 1837 (maunya dibaca Ibet), tidak jauh dari gerbang tol Plumbon. Aku memesan empal asem dengan lontong dan tahu gejrot. Mas Harry memilih nasi lengko biasa dan setengah porsi sate sapi.  Ditambah 2 gelas besar es teh manis, kami hanya harus membayar Rp.63.000,-



Dengan perut kenyang, kami meneruskan perjalanan ke Trusmi, kampong batik Cirebon. Puas berbelanja, kami pun check in di hotel sekitar pk. 16.30. Setelah beristirahat dan shalat Maghrib, kami keluar untuk mencari makan. Pilihan kami kali ini adalah seafood. Kami pun menuju jl. Siliwangi. Disana banyak terdapat warung2 tenda yg menjual aneka hidangan seafood. Kami memilih warung Pak Suryadi, yg berada di seberang hotel Langensari.

Ikan kerapu bakar, ikan pecah kulit (orang Cirebon mengenalnya sebagai ikan Kanang), jamur tiram goreng tepung, cah kangkung dengan nasi dan es jeruk kami pesan. Total kerusakan Rp.148.000,-



Selesai makan, kami jalan2 keliling seputar  kota Cirebon, kearah pasar. Aku teringat bumbu empal gentong pesanan mbak Dian, kakak iparku. Kami pun berhenti di salah satu toko oleh-oleh yang ada di sisi kiri jalan. Toko Sumber Jaya.

Sambil memilih2 belanjaan, mas Harry ngobrol dengan pemiliknya. Dari dia, kami dapat info mengenai tempat makan nasi jamblang lain yang juga enak. Tempatnya keciiil, tapi ruame karena enak. Bukanya agak siang, sekitar pk. 10, katanya. Tapi jam 13 biasanya sudah habis. Wah… berarti masih ada kesempatan kami makan nasi jamblang, nih. Kami berdua sepakat, besok kami akan sarapan pagi2 sekali di hotel, lalu jam 09.30 menuju ke Nasi Jamblang Debleng, mengikuti arahan dari si pemilik toko Sumber Jaya. Rasanya kok belum klop ke Cirebon kalo belum makan nasi jamblang.



So… esokan harinya, jam 9 pagi, kami sudah meninggalkan hotel. Setelah mencari2, Alhamdulillah akhirnya ketemulah itu nasi jamblang Debleng. Waktu kami tiba, disana sudah cukup ramai orang. Kursi yang tersedia hanya bisa menampung sekitar 8 orang. Gak heran kalau banyak pembeli yg membungkus utk dimakan dirumah. Jadi, kalau pun kita mendapat duduk di depan meja saji, siap2 aja ada tangan-tangan nyelonong di kanan, kiri dan atas kepala kita. Para pembeli gak sabar menunggu dilayani oleh penjual yg hanya 2 orang, jadi inisiatif mengambil sendiri makanan yg akan mereka bungkus.





Pagi itu, karena masih cukup kenyang, aku hanya pesan 1 bungkus nasi, dengan lauk telur dadar, tempe goreng 2 potong, dan 1 ekor sotong masak hitam. Mas Harry memilih lauk 2 potong semur tahu, telur dadar, sotong dan limpa. Dengan 2 gelas es teh manis, kami hanya membayar Rp.28.000,-








Dan memang benar, masakannya memang enak. Sotongnya empuuuk. Tempe gorengnya juara. Rasanya pas, tidak keasinan. Penjualnya pun ramah dan baik hati. Waktu aku tanya, itu lauk apa, selain menjawab, dia langsung menyendokkan sedikit lauk tersebut ke piringku untuk dicicipi.


Kata mas Harry, kali lain kami ke Cirebon lagi, kami HARUS makan di situ lagi…

Siap, Mas… Tempatnya sudah ku-save di googlemaps-ku, biar gak nyasar… :-D

Minggu, 22 Februari 2015

Nge-warteg

Tanggal tua begini, kalo pengen makan enak dan murah, salah satu alternatif pilihannya adalah makan di warteg. Apalagi, my body is not delicious begini (kurang enak badan, maksudnya, Red), malas mau masak. Jadi deh, ke warteg adalah pilihan terbaik.

So... Mas Harry ngajak makan di warteg deket tempat dia memperbaiki kaca spion si Bungsu yg kesrempet mobil tempo hari. Warungnya kecil dan sederhana sekali, sesuai dengan namanya, Warung Nasi Sederhana, di jalan Cipinang Baru Utara.

Lauk jagoanku kalau makan di warteg adalah telur dadar. Tauk nih, udah beberapa hari ini pengeeen banget makan telur dadarnya warteg...

Aku memilih lauk urap (minta ditambahin), sayur jamur & tahu, kering tempe dan telur dadar. Nasi putihnya setengah aja. Tau sendiri kan, ukuran nasi putihnya warteg biasanya buat ukuran perut segede tanki truk, sementara perutku seukuran tanki sepeda motor (NOT). Hehehehehe.


Mas Harry memilih lauk ikan tongkol, sayur jamur & tahu, tumis kacang panjang dan telur dadar.
Dengan minum 2 es teh manis, total kerusakan cuma Rp.32.000,-
Sekalian aja kami beli lauk buat makan malam nanti. Maklum, kan lagi males masak karena badan semriwing...

Untuk beberapa orang, makan di warteg mungkin tidak menarik. Apalagi kalau melihat tempatnya, yg kadang2 memang amat sangat sederhana, cenderung bobrok dan jorok. Tapi kita kan bisa memilih warteg2 yg besar dan bersih. 

Makan di warteg itu seru, lho. Pilihan lauknya banyak, harganya murah, dan rasanya enak. Ini ada contoh dari lauk-lauk yg ada di warteg CBN di Jl. Kebon Sirih Timur, Jakarta (sebelah kiri jalan hampir berseberangan dengan toko Djody Art & Curio). 







Ayo... siapa yg gak ngeces ngeliat lauk-lauk enak begini, coba...

Yuk... kita makan di warteg. Biar perekonomian kecil berjalan terus...

Selasa, 17 Februari 2015

Melacak Juhanda.


Salah seorang teman AIYEP-ku, Juhanda, adalah wakil dari Jawa Timur. Dia bertindak sebagai penghubung karena fase Indonesia kami diselenggarakan di Jember, kota asalnya. Seperti dengan kebanyakan teman-teman lain, setelah program selesai, aku kehilangan kontaknya. Aku ingiiin sekali bisa menyambung silaturrahim kami. Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya alamat atau nomor telepon rumahnya, karena di tahun 1988 itu, rumah orangtuanya yg di desa belum tersedia sambungan telepon.

Mungkin perlu aku ingatkan ya… Program kami itu tahun 1988, sebelum jamannya personal computer, boro2 tablet. Belum ada handphone, boro2 smartphone, android, blackberry atau iPhone. Jadi, keeping in touch means land line (teleponnya Telkom), atau surat-menyurat melalui kantor pos. That was not easy, you know…

So… Kembali ke Juhanda…
Aku ingat, saat dia mengikuti program itu, dia adalah juga aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di kampusnya, Universitas Jember. Karena rumah orangtuanya yg cukup jauh dari kota Jember, yaitu di daerah Kencong (ucapan huruf “e”-nya seperti dalam kata “kena”), maka dia menggunakan alamat Sekretariat HMI kota Jember sebagai alamat surat-menyuratnya.

Berbekal informasi itu, aku berinisiatif mengirim sebuah surat yg aku tujukan ke Sekretaris HMI Jember saat ini (sekitar tahun 2006 atau 2007). Pikirku, semestinya, pak pos pasti tau alamat Sekretariat HMI. Jadi, di amplop surat, aku hanya menuliskan:

Kepada Yth:
Sektretaris HMI
Kota Jember,
Jawa Timur.

Adapun isi suratnya, antara lain begini:
Bahwa saya punya teman yg bersama-sama mengikuti PPIA pada tahun 1988, namanya Juhanda. Saat itu, ia adalah anggota HMI. Sekiranya HMI memiliki data-data mengenai anggotanya, mohon agar meneruskan surat ini kepadanya. Dan meminta agar dia menghubungi saya di alamat ini, nomor telepon dan HP sekian-sekian.

Dengan mengucapkan basmalah, aku mengirimkan surat itu dengan tanpa harapan sama sekali. Takut kecewa, booo…
Tapi terus terang, aku tetap berdoa agar surat tersebut dapat diterima oleh orang yg berkepentingan, dan kemudian diteruskan ke teman yg aku maksud.

Beberapa waktu berlalu…
Sekitar 5 minggu kemudian, saat aku lagi berada dirumah kakak iparku, aku mendapat telepon di HP-ku. Dari 1 nomor seluler yg tidak aku kenal. Tapi begitu si penelepon mengucapkan namaku, aku langsung tau bahwa itu Juhanda!!! Masya Allaah…

Alhamdulillaah… Aku tidak bisa tidak hanya tersenyum lebar sambil berbincang dengan dia… Allahu Akbar…

Allah berkenan menjawab doaku, dan mempertemukan kembali aku dengan teman yg sudah aku anggap seperti kakak sendiri…

Ternyata, apa yg menjadi pemikiranku saat mengirim surat itu tepat. Pak pos memang mengantarkan surat tsb ke sekretariat HMI Jember.
Anggota atau pengurus HMI Jember memang menyimpan data anggota2nya, atau memang masih berhubungan, sehingga bisa meneruskan surat itu ke mas Ju...

Senin, 16 Februari 2015

My AIYEP

Ke Australia!!! Gratis (malah mendapat uang saku), tinggal dengan orangtua angkat, mendapat pengalaman kerja, belum lagi mendapatkan pengalaman yg tidak akan terlupakan seumur hidup… Rasanya seperti dapat rejeki nomplok!
Begitu lah yg aku rasakan sewaktu mendapat kepastian bahwa aku berhasil menjadi salah satu wakil dari Jakarta untuk menjadi peserta program ini. Di tahun yg sama, alm. mas Wawan mengikuti program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada.

Informasi mengenai program ini kami dapatkan dari kak Bambang, Pembina kami di Purna Paskibraka Jakarta Barat. Tahun 1986, kak Bambang mengikuti program ini. Kami berdua, aku dan Wawan, sama-sama tertarik mengikutinya.

Langkah pertama setelah mendaftar, adalah tahap seleksi. Tes tulis mencakup pengetahuan umum, kewarganegaraan, dan Bahasa Inggeris. Juga ada tes kesenian, dimana para peserta program diharapkan menguasai salah satu bentuk kesenian tradisional Indonesia, dikhususkan kesenian daerahnya masing-masing, dalam hal ini, kebudayaan Jakarta.
Alhamdulillah, kami berdua lulus!! Wawan ke Kanada, aku ke Australia.

Secara garis besar, program AIYEP tahun 1988 adalah sebagai berikut.
Dari daerah asal kami masing2, kami dikumpulkan di Bumi Perkemahan Cibubur untuk masa persiapan (Pre-Departure Training) selama 10 hari. Enam belas pemuda-pemudi (8 laki-laki, 8 perempuan) dari 13 propinsi di Indonesia. Kami dipersiapkan untuk menjadi duta bangsa, tidak lagi mewakili pribadi, keluarga, atau propinsi, tapi kami akan mewakili bangsa Indonesia. Persiapannya tidak boleh main-main…

Setelah 10 hari, kami-pun berangkat ke Australia, dimana yg menjadi tuan rumah adalah negara bagian Queensland.

Di Brisbane, ibukota Queensland, kami menjalani masa orientasi lagi selama sekitar 5 hari, sebelum kemudian tinggal di keluarga angkat yg pertama di Stanthorpe, yg merupakan kota kecil (fase rural) selama 2 minggu. Selain bekerja (magang) atau membantu pekerjaan di perkebunan milik keluarga, kami juga mengadakan kunjungan ke sekolah2, dan menutup fase di Stanthorpe dengan pertunjukan kesenian.

Selesai dari daerah terpencil atau kecil, kami kembali ke Brisbane untuk tinggal di keluarga angkat yg kedua. Kegiatan kami disini adalah magang di perusahaan2 atau kantor2 sesuai dengan spesifikasi yg kami berikan. Perpisahan dengan keluarga angkat juga ditutup dengan pertunjukan kesenian.

Setelah 2 fase tersebut tuntas, kami diajak berlibur ke Utara, yaitu ke kota Townsville. Berangkat naik pesawat, pulang ke Brisbane naik kereta api. Kami diajak ke Coochie Mudlo Island, ke hutan hujan, dan tempat-tempat menarik lainnya. Yah, namanya juga lagi berlibur…

Selain kegiatan magang, pertunjukan kesenian dan jalan-jalan, kami juga melakukan kunjungan kehormatan ke petinggi2 kota dan Negara bagian, yaitu walikota Brisbane dan Gubernur Jenderal Negara Bagian Queensland. Dan karena pada saat yg bersamaan Brisbane sedang menjadi tuan rumah untuk World Expo 1988, maka kami pun berkesempatan mengunjungi ajang pameran besar kaliber dunia itu. Bayangkan Pekan Raya Jakarta, tapi stand-stand atau paviliun2 yang ada merupakan perwakilan suatu negara! Sungguh suatu pengalaman yg belum tentu bisa diulang kembali…

Selesai fase Australia, kami-pun dipasangkan dengan pemuda-pemudi Australia (counterpart), kemudian melanjutkan program ke Indonesia. Counterpart-ku, Kathy Taylor, adalah seorang mahasiswi yg berasal dari kota kecil, Gympie. Keluarganya adalah keluarga petani. Saat ini ia bersama suaminya tinggal di London, dan sudah memiliki 2 orang anak.

Tiba di Jakarta, kami menjalani masa orientasi lagi, khususnya utk peserta Australia. Jangan salah… Mereka juga perlu beradaptasi dengan situasi dan kebiasaan2 di Indonesia, lho. Contohnya, antara lain adalah menyeberang jalan.
Di Australia, jika ada pejalan kaki yg akan menyeberang di zebra cross, hampir bisa dipastikan, pengemudi kendaraan bermotor akan berhenti memberi kesempatan untuk menyeberang. Sementara disini, whooo… kalian tau sendiri gimana kondisinya, kan? Kalau mereka tidak diberi tahu kondisi ini, bisa2 mereka akan tertabrak sepeda motor saat mereka akan menyeberanng.

Selain itu, beberapa dari mereka berasal dari kota kecil di Australia. Saking kecilnya, mereka tidak pernah mengalami macet, bahkan ada juga yg tinggal di kota yg tidak ada lampu lalu lintas!! Ternyata, mereka ada juga yg lebih kamso daripada kita, ya? Hehehehehehe…

Fase Indonesia akan diadakan di kota Jember, Jawa Timur. Kami berangkat naik kereta api ke Surabaya, disambung dengan bus charter. Tiba di Jember, kami langsung disambut dg acara seremonial, dimana kami langsung akan bertemu dg keluarga2 angkat kami masing-masing.

Orangtua angkat kami yg pertama adalah Walikota Jember. Kami tinggal dirumahnya selama 2 minggu. Kemudian berpindah ke rumah keluarga Darminto, seorang pejabat di PTP XII. Giliran berikutnya, kami tinggal di satu keluarga pemilik peternakan campur di kota Jember. Dan keluarga angkat yg terakhir adalah di keluarga seorang pejabat di PTP XI, yg rumahnya berada sedikit keluar kota. Halaman rumahnya besaaar, ada banyak pohon buah-buahan seperti rambutan, durian, jambu bali, dll. Karena tempatnya mencukupi, mereka menerima 2 pasang peserta. Selain aku dan Kathy, juga ada Miswan Penyang dan Peter Bartu.

Seperti fase2 di Australia, di Jember ini pun kami melakukan magang. Namun pemilihan tempat magangnya sungguh menarik, karena tidak bisa kami bayangkan sebelumnya.

Tempat magangku yg pertama adalah sebuah salon kecantikan, dimana aku dan Kathy belajar memotong rambut, mencuci rambut dan melakukan creambath. Ketrampilan memotong rambut ini pernah kami praktekkan ke adik-adik angkat kami di keluarga Darminto, yg memiliki 4 orang anak perempuan.

Tempat magang kedua dan keempat adalah kantor PTPN XII dan PTPN XI. Namun kami hanya menjadi tamu. Tidak banyak yg kami lakukan, hanya melakukan kunjungan-kunjungan ke sub unit mereka seperti ladang tembakau, gudang tembakau, kantor litbang, dll.

Tempat magang ketiga adalah peternakan milik keluarga angkatku. Peternakan mereka disebut peternakan campur atau mix farming karena mereka memiliki sapi perah dan ayam petelur. Tugas kami setiap hari adalah mengumpulkan telur2 ayam dari kandang kemudian dikemas. Untungnya, kami tidak diharuskan memerah susu karena sudah dikerjakan oleh petugasnya. Kami hanya mengemas susu-susu itu dalam plastik kemasan 250 ml dan 500 ml. Kemudian besok harinya, kami bangun pk. 04 dini hari untuk ikut mendistribusikan susu-susu tersebut ke para pelanggan.

Kami juga mendapat jatah liburan selama di Jember. Sayangnya, rombongan terpaksa dibagi dua karena ada 2 keinginan. Sebagian (kebanyakan teman-teman bule kami) ke gunung Bromo, sementara sebagian lain, termasuk aku, memilih berkunjung kerumah orangtua kawan kami, Juhanda, di desa Kencong.

Kira-kira, begitulah yg aku alami selama aku menjalani program pertukaran ini. Sedikit-sedikit, aku akan menceritakan lebih mendetil beberapa segmen selama program, yg mengena dihatiku dan masih terpatri kuat di ingatan… Ditunggu ya…






Kamis, 12 Februari 2015

Pertukaran Pemuda Indonesia Australia 1

Tahun 1988, saat aku masih kuliah di tahun kedua di Fakultas Psikologi UI, aku mengambil cuti kuliah selama 1 semester untuk mengikuti program Pertukaran Pemuda Indonesia Australia (PPIA) atau AIYEP (Australia Indonesia Youth Exchange Program).

Program ini pertama kali diadakan pada tahun 1981-1982. Saat aku berpartisipasi, pesertanya berjumlah 16 orang, yg terdiri dari 8 orang laki-laki dan 8 orang perempuan, yg berasal dari 13 propinsi. Tapi sejak beberapa tahun yg lalu bertambah menjadi 18 orang, 9 orang laki-laki dan 9 orang perempuan.

Program itu terselenggara berkat kerjasama antara DFAT (Department of Foreign and Trade) dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun belakang hari beralih ke Australia Indonesia Institute (AII) dan ke Kantor Menteri Muda Pemuda dan Olahraga, yg sekarang bernama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).

Program berlangsung selama kurang lebih 4 bulan yg terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase Australia dan fase Indonesia. Di setiap fase negara itu, para peserta akan menjalani program di kota besar dan di kota kecil. Selama itu, kami akan tinggal bersama foster family atau keluarga angkat. Kegiatan utamanya adalah magang, juga mengadakan pertunjukan kebudayaan.

Magang atau work experience-nya sedapat mungkin disesuaikan dengan keinginan si peserta. Bisa yg sesuai dengan latar belakang pendidikannya, atau hobby-nya. Ada yang ingin menjadi guru, atau pengacara, atau jurnalis, dll.

Waktu diantara fase rural (kota kecil) dan urban (kota besar) disediakan untuk liburan sejenak (mid break).

Selesai menjalani fase di Australia, para pemuda-pemudi kita akan dipasangkan dengan para pemuda Australia, laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan. Namanya counterparting. Kemudian, mereka ber-36 orang akan bersama-sama menjalani fase di Indonesia.

Hampir sama dengan di Australia, selama di Indonesia-pun, para peserta akan menjalani 2 fase, yaitu di desa atau kota kecil dan di kota besar. Selama di desa atau kota kecil, mereka akan melakukan kegiatan pembangunan desa atau yg dikenal dg sebutan community development, dimana mereka akan menjadi agent of change atau pemuda yang membantu pemuda setempat untuk mau membangun dan memperbaiki kualitas hidup di desa.
Sementara selama di kota besar, mereka juga akan melakukan kegiatan magang.

Satu kegiatan yg juga tak kalah menarik dan menjadi salah satu fokus kegiatan ini adalah pertunjukan budaya atau cultural performance, dimana para peserta akan mempertunjukkan kekayaan budaya tradisional daerah asalnya masing-masing, baik itu dalam bentuk tarian, lagu2, maupun pakaian daerah.

Di Australia, kegiatan ini sungguh menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh komunitas kota tempat mereka tinggal. Kadangkala bahkan mereka mengadakan pertunjukan kecil di sekolah-sekolah atau di pusat keramaian seperti mall.

Program ini ditujukan untuk pemuda Indonesia yang berusia antara 19-24 tahun. Sekolah (kuliah) atau bekerja tak menjadi masalah, asalkan mereka belum menikah, dan lulus seleksi yang diadakan oleh Kemenpora melalui Suku Dinas di tiap2 daerah yang mendapat jatah. Kok begitu???
Hitung aja deh… Peserta dari Indonesia hanya 16 orang, sementara jumlah propinsi kita sudah 34 (dengan Kalimantan Utara). Sayangnya, hal ini membuat penggiliran daerah2 yg akan mengirimkan wakilnya.

Selain PPIA, Kemenpora juga menyelenggarakan pertukaran pemuda dengan Kanada, ASEAN-Jepang (dengan kapal pesiar Nippon Maru), Malaysia, dan Korea. Setiap program memiliki SOP dan keunikan tersendiri, dengan durasi yg berbeda2, mulai dari 2 minggu sampai 6 bulan.

Ayo… siapa dari kalian yg tertarik? Buat adik atau anak? Mungkin keponakan? Atau anaknya tetangga? Siapa saja, asal memenuhi syarat.
Cari informasi lebih lanjut dan detil ke kantor2 Suku Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) di daerah kamu atau kampus masing-masing.

Ini contoh link mengenai kegiatan ini, baik yg ada di universitas, pemerintah kota, maupun pemerintah propinsi.




Selasa, 10 Februari 2015

Perang Nasi Jamblang

Pertengahan Januari tahun 2013 yg lalu, ditengah kesibukan menyiapkan garage sale dan rencana pindah rumah, mas Harry mengajakku berlibur. Walau agak berat meninggalkan rumah karena banyak yg harus dipikirkan sehubungan dg rencana penjualan rumah Bapak, pindahan, garage sale dll, aku memang memerlukan sedikit hiburan utk ‘keluar’ sejenak dari keribetan dirumah. Karenanya, aku memilih tujuan yg dekat2 saja dari Jakarta, yaitu Cirebon.

Kota yg terkenal dg julukan Kota Udang ini sebenarnya cukup sering kami lewati. Yak, hanya dilewati dalam perjalanan kami menuju Malang, atau Bali. Memang kami pernah 2x menginap disana  dalam rangka kegiatan klub VW. Tapi padatnya acara VW membuat kami tidak pernah menjelajah kota, tempat2 wisata dan kulinernya. Menurutku, inilah saat yg tepat utk benar2 mengenali kota itu. Kami menjadwalkan perjalanan ini selama 4 hari 3 malam.

Selama kami disana, akhirnya kami berkesempatan mencicipi makanan khas Cirebon yg sudah lama kubaca review-nya di milis atau blog teman-teman sesama penggemar kuliner dan jalan-jalan, yaitu nasi Jamblang  pelabuhan. Tidak hanya disitu, tapi juga nasi jamblang di tempat2 lain. Tepatnya, di 4 tempat yg berbeda. Begitu juga dengan empal gentong. Karena mas Harry gak suka makanan berbahan daging sapi ini, jadi hanya aku yg makan. Makanya tulisan ini aku beri judul Perang Nasi Jamblang.

Malam pertama kami di Cirebon, rencananya kami akan mencicipi nasi jamblang Mang Dul, yg menurut review yg kubaca juga merupakan tempat makan nasi jamblang yg terkenal. Namun kami mendapat masukan dari pegawai hotel tempat kami menginap mengenai Nasi Jamblang Ibu Nur. Menurut sepengetahuan mereka, nasi jamblang Mang Dul hanya buka di pagi sampai siang hari. Tapi nasi jamblang Bu Nur ini buka sampai malam, dan sedang “in” saat ini. Dan karena secara lokasi memang dekat dg hotel, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Bu Nur di malam pertama itu.

Memang relatif mudah mencapainya. Di jalan Tuparev, hampir berseberangan dg restoran cepat saji Mc Donald, ada jalanan berbelok kekiri (ada plank apotik apa, gitu). Itu masuk jl. Cangkring Tengah. Dari belokan itu, kira-kira 500 meter kedalam, sampailah kita di restoran nasi jamblang Bu Nur di sebelah kanan jalan.

Sebagaimana layaknya penjual nasi jamblang lainnya, kami disambut dg berbagai jenis lauk dalam baskom kaleng. Malam itu mas Harry memilih lauk cumi masak hitam, udang goreng saus asam manis, semur tahu dan perkedel basah (karena ada perkedel kering). Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, pepes rajungan dan semur lidah. Dengan minuman jus jambu-jeruk dan es teh manis, total kerusakan mencapai Rp.49.000,-



Esok harinya, kami menjadwalkan perjalanan ke Gua Sunyaragi dan Sangkan Hurip utk berendam dg air panas. Kami tiba di Sangkan Hurip menjelang makan siang (well, masih jam 10.30 sih) tapi perut sudah minta diisi. Akhirnya, kami berhenti sejenak di warung Abah Oji di pinggir jalan yg menjual menu makanan empal gentong dan nasi jamblang. Akhirnya, ada kesempatanku utk mencicipi empal gentong tanpa harus membuat mas Harry “menderita” karena gak ikut makan, karena dia bisa makan nasi jamblang. Perfect!

Warungnya sederhana sekali. Pilihan lauknya pun tidak banyak, hanya ada sekitar 12 jenis (dibandingkan dg 35-40 jenis lauk di Bu Nur dan Mang Dul). Disini, mas Harry memilih lauk telur dadar, tahu goreng, perkedel dan udang goreng. Tapi menurut mas Harry, lauknya enak, bahkan lebih enak daripada nasi jamblang Bu Nur semalam. Empal gentongnya pun enak.  Sayangnya, aku lupa berapa yg harus kami bayar pagi itu.

Pulang dari Sangkan Hurip, mas Harry mengajakku berburu printilan sepeda onthel. Kamipun menuju jl. Fatahillah. Dalam buku wisata Cirebon yg kubaca, di daerah itu ada empal dengkul yg terkenal. Wah, kebetulan sekali, seperti sudah diatur, rupanya pasar sepeda itu dekat dg warung Empal Dengkil Mang Kojek! Jadilah selama mas Harry berburu, aku pun berburu hal yg lain. Empal dengkul… :-)



Warung pinggir jalannya cukup besar, bersebelahan dg penjual es kelapa muda. Karena memang bukan saatnya makan, aku hanya pesan empal dengkul tanpa nasi dan segelas es kelapa jeruk. Untuk rasa, memang enak. Dan unik karena jarang sekali penjual empal gentong yg menggunakan dengkul sebagai bahannya. Seporsi empal dengkul, dengan atau tanpa nasi, harganya Rp.20.000,-. Nasinya pun self service alias ambil sendiri. Mau sedikit atau banyak, atau gak pake sama sekali, silakan saja. Sementara es kelapa jeruknya Rp.6.000,- segelas.

Malam kedua itu kami memutuskan mendatangi Mang Dul. Berdasarkan masukan teman-teman di facebook, rupanya sudah beberapa lama ini Mang Dul tidak hanya buka dari pagi hingga siang saja, tetapi mereka buka kembali dari sore hingga malam. Malam agak gerimis tidak membuat kami mundur dari rencana. Setelah agak nyari2 (karena lokasinya dekat dg perempatan yg sibuk dan ramai, kami sempat agak kesulitan menemukannya) akhirnya ketemu lah nasi jamblang Mang Dul.
Sebenarnya gampang aja nyarinya (kalau udah tau…). Lokasinya di Jl. Cipto Mangunkusumo, di seberangnya Grage Mall, dekat dengan prapatan lampu lalu lintas.

Disini, mas Harry memilih lauk ceplok, sate kentang, semur tahu dan ikan tengiri. Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, paru goreng dan pepes kerang. Plus 2 gelas teh manis hangat, total kerusakan hanya Rp.29.000,-!!!




Lalu, bagaimana hasil perangnya? Tunggu dulu… masih ada 1 tempat nasi jamblang lagi yg kami datangi. Itulah nasi jamblang pelabuhan yg terkenal…. Hari terakhir kami di Cirebon, kami sengaja tidak memanfaatkan fasilitas sarapan di hotel karena ingin mencicipi makanan di tempat ini, yg katanya hanya buka pagi hari (jam 9 sudah habis!).

Pagi itu, belum mandi (oops… hehehehe) kami bergegas berangkat kearah pelabuhan. Takut kehabisan lauk! Sampai disana, ternyata lauknya masih cukup banyak. Mas Harry memilih telur dadar, cumi masak hitam, perkedel kentang, sate udang dan semur tahu. Dan aku memilih perkedel kentang, cumi masak hitam, telur dadar, tempe goreng dan semur tahu.




Kesimpulan:
1.    Lauk di nasi jamblang pelabuhan cenderung terlalu asin untuk lidah kami.
2.    Pilihan lauk di Mang Dul dan Bu Nur hampir sama banyaknya. Rasanya pun hampir sama enaknya. Yang membedakan hanya suasana tempat makannya. Tempat makan di Bu Nur lebih luas dan lega.

3.    Tapi dari 4 tempat makan nasi jamblang itu, menurut lidah mas Harry, juaranya adalah Warung Abah Oji di Cilimus, Kuningan.

Senin, 09 Februari 2015

Oleh-Oleh Perjalanan 2

Masih seputar oleh-oleh saat kami bepergian ke Amerika Serikat Desember 1996.

Seperti biasa, setiap melakukan perjalanan, kami selalu berusaha untuk memberikan oleh-oleh untuk orang-orang yang dekat dengan kami. Keluarga, sahabat dan teman. Dalam hal ini, aku ingin menceritakan pengalamanku membeli oleh-oleh untuk teman-teman kantor mas Harry.

Sejak sebelum berangkat, mas Harry sudah mewanti-wanti aku untuk membuat daftar oleh-oleh. Si A mau dikasih ini, si B mau dibawain itu, si C cocoknya dikasih apa, dst… dst. 

Waktu itu, posisi mas Harry di kantor membawahi banyak orang. Maklum lah, di bagian General Services. Dibawahnya, ada operator telepon, pengemudi, office boy/girl, cleaning service, belum lagi staf yg berada langsung dibawahnya, dan teman2 di bagian atau divisi lain. Walah… Kalo mau dikasih semua, alamat kami bakal kehabisan duit, deh… Karenanya, kami sepakat hanya akan memberi ke beberapa orang yang secara langsung memang banyak membantu pekerjaan mas Harry di kantor.

Aku kemudian membuat daftar tersebut di sebuah buku kecil yang akan kubawa. Selain daftar dari mas Harry, aku juga membuat daftar untuk teman-teman atau keluargaku sendiri.

Singkat cerita, saat berada di Orlando, Florida, atau San Francisco dan Los Angeles, California, aku memanfaatkan penawaran dari gift shops yang menjual barang2 lucu dalam jumlah banyak. Misalnya, 10 buah ballpoint seharga $6, atau 1 set mini branded parfum berisi 4 atau 6 botol seharga $20, dsb. Sesuai daftar, aku membeli barang2 tersebut. Tapi on a hunch, aku memutuskan membeli 1 set ballpoint dan 1 set mini parfum extra. Perasaanku mengatakan, ada 1-2 orang yang lupa belum dimasukkan ke dalam daftar.

Tapi saat mengetahui hal tersebut, mas Harry menegurku. “Kamu harus mengikuti catatan. Stick to the list! Jangan beli melebihi dari apa yang sudah kita sepakati,” katanya agak marah. Tapi aku berkelit dengan mengatakan kalau aku juga ingin punya ballpoint atau parfum itu. Mas Harry terus diam aja…

Sampailah kami kembali di rumah. Sisa cuti yang masih ada 2 hari, aku pergunakan untuk memilah-milah oleh-oleh itu. Masing-masing barang kuberi nama calon penerimanya, khususnya yg untuk teman2 mas Harry di kantor. Mana dia mau menghapal ini buat siapa, itu untuk siapa, kan?

Sesuai dengan daftar, aku berikan semua oleh-oleh yang sudah bernama itu ke mas Harry untuk didistribusikan ke teman2nya.

Sore hari waktu mas Harry pulang kantor, dia tanya, “Say, masih ada gak parfum mininya?”
Kujawab, “Masih. Emangnya mau ngasih buat siapa?”
“Buat si Anu,” kata mas Harry.
“Lho… buat si Anu kan tadi pagi sudah ada. Sudah kukasih ke mas Harry…”
“Iya. Tapi tadi waktu mau ke tempatnya si Anu, saya ketemu si X. Dia minta oleh-oleh. Jadi, jatahnya si Anu saya kasih ke si X”

WHAAAAT…?????
*elus dada, tarik napas panjang, Mia…*
“OK, masih ada kok.” Jatahku jadi berkurang, deh… Hehehehehe.

Besok paginya, mas Harry membawa oleh-oleh extra itu ke kantor.
Sore hari… Mas Harry pulang kantor. Terus dia tanya lagi, “Say, ballpoint-nya masih ada gak? Dua buah…”
“Buat siapa?” tanyaku.
“Buat si A sama si B” kata mas Harry.
“Lho… ballpoint buat si A dan B kan udah kukasih kemarin… Bareng dengan yg buat teman2 mereka…”
Kata mas Harry, “Iya, kemarin si A dan si B masuk shift siang. Eh, terus si M dan N minta oleh-oleh. Ya jatahnya si A dan si B saya kasih aja ke M dan N.”

GUBRAAAKS…
What ever happen to “Stick to the list” thing…????

Tapi, berhubung aku kenal baik dengan A dan B, juga dengan M dan N, akhirnya aku keluarin juga persediaan oleh-oleh extraku itu, walau dengan hati sedikit dongkol.
Dongkolku itu ke mas Harry, karena selama perjalanan, setiap kami masuk ke toko atau gift shops, dan mas Harry melihat aku membeli sesuatu, dia selalu kekeuh mengatakan, “Stick to the list”, “Jangan membeli lebih banyak daripada (yang sudah di) daftar” sehingga aku sampai harus mengeluarkan ‘jurus’ pamungkas “aku juga pengen”…

Keesokan harinya, mas Harry berangkat ke kantor dengan membawa 2 ballpoint extra untuk si A dan si B.
Kembali sore hari, mas Harry pulang kantor. Eh, dia nanya lagi… “Say, ballpoint-nya masih ada 2 lagi, nggak?”

AMPUUUUN DIJEEEEEY….!!!!!

“Buat siapa?”
“Buat si S dan si T”, yang, sekali lagi, sebenarnya sudah ada di daftar pertama yg kami buat sejak sebelum kami berangkat. Sepertinya, mas Harry udah merasa nggak enak duluan, karena dia langsung menjelaskan peristiwanya tanpa aku tanya. Seperti yang sudah-sudah, ada temannya yg tidak ada dalam daftar yg minta jatah oleh-oleh. Gak bisa menolak, kemudian mas Harry memberikan jatah oleh-oleh yang ada di daftar ke mereka.
Hellooo… Aku juga punya teman yang terpaksa tidak aku kasih oleh-oleh karena memang tidak ada dalam daftar. Kalo aku harus mematuhi daftar itu, adil dong kalo aku juga minta mas Harry mematuhinya?

Jadinya… walau sebenarnya aku masih punya beberapa oleh-oleh extra, tapi aku putuskan untuk menjawab, “Udah gak ada.”
Lha habis, bagaimana? Waktu aku beli, dia marah2. Tapi giliran begini, dia minta2 melulu. Emangnya enak belanja tapi dimarahin?
Makanya… kalo istri beli sesuatu, percaya aja deh, kalo itu demi kebaikan kita bersama. Mending beli lebih daripada kurang. Kan belum tau lagi, kapan kita bisa balik ke sana…

Oooh… balada oleh-oleh…
Kalian pernah ngalamin hal seru apa seputar oleh-oleh?


Cerita Lucu 8

Kalo cerita yang satu ini, melibatkan Puthut, keponakan tertua suamiku, waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Sekarang sih, dia sudah menjadi dokter gigi, bahkan sudah lama menyelesaikan pendidikan S2-nya dan saat ini menjadi PNS di kementrian Kesehatan.

Puthut, keponakan suamiku Harry, sudah menunjukkan kepandaiannya sejak masih kecil. Saat SD , guru Matematikanya yang mengenal suamiku, memberi soal sebagai berikut, “Puthut, Oom Harry punya satu butir apel, lalu dibagi dua. Puthut dapat berapa bagian?”

Dijawab oleh Puthut, “Seperempat, Pak Guru.”

“Lho, Puthut belum hafal pembagian, ya? Satu dibagi dua kan jadinya setengah.”

“Pak Guru nggak tau Oom Harry. Kalo 1 apel dibagi 2 sama rata, benar Puthut dapat setengah. Tapi kalau Oom Harry yang membagi, Puthut kebagian seperempat.”

Cerita Lucu 7

Keponakanku, Arka ketika berumur 3,5 kesulitan membedakan antara bebek dengan angsa. Iparku Liza, berusaha membantu anaknya itu dengan mengatakan bahwa bebek memiliki leher pendek, sementara angsa lehernya panjang.

Sambil berusaha mengolah informasi tersebut, Arka melihat adikku yang bertubuh besar, yang duduk tidak jauh dari mereka.

“Ma, Papa nggak punya leher ya…” 

Tertawa, Liza menjawab, "Papa punya leher, Arka. Cuma nggak kelihatan." Tapi Arka masih berkeras bahwa Papanya tidak mempunyai leher, sampai akhirnya percaya setelah ditunjukkan lehernya. 

Cerita Lucu 6

Pamanku yang ketika itu bekerja di pabrik gula di Situbondo baru saja membeli mobil. Pada saat berlibur, kami berkesempatan mengunjungi Paman dan keluarganya.

Di hari kami tiba, kami berbincang-bincang dengan supir Paman, yang adalah orang Madura. “Pak, mobil apa sih yang dibeli Paman?”

“Oh, itu lho… Toyota Marki’i.”

Setelah kami melongok ke dalam garasi, pecahlah tawa kami karena ternyata yang dimaksud oleh Pak Supir adalah Toyota Mark II.

Cerita Lucu 5

Keponakanku, Asha, 5 tahun, sangat dekat dengan Neneknya yang dipanggilnya Eyang Ti. Begitu dekatnya, sampai sulit dipisahkan, kecuali jika Ayahnya sedang mendapat jatah libur dari pekerjaannya yang mengharuskannya tinggal di Ternate. 

Karena jarang bertemu, Kunto sangat menikmati saat-saat bersama putri tercinta, dan berusaha agar Asha banyak menghabiskan waktu dengannya, sebelum ia harus kembali bekerja.  

Usahanya terbayar saat libur kemarin. Asha ditemani oleh Eyang Ti-nya diajak oleh Ayahnya berlibur ke Yogyakarta, sementara Mama tetap di Jakarta bersama adik Raynart yang baru berumur beberapa bulan. 

Suatu malam saat baru check-in di hotel, Asha bertanya pada neneknya, "Eyang, 'Yang Ti takut setan nggak?"

Eyangnya menjawab, "Nggak, Eyang nggak takut sama setan."

"Kalau begitu, malam ini Eyang bobo sendiri ya. Asha mau bobo sama Papa."

Cerita Lucu 4

Masih dari mbak Diandra. 

Untuk Diandra keponakanku, aku dan suamiku dipanggil Bude Mia dan Pakde Harry. Sampai suatu hari saat baru pulang dari sekolahnya di taman kanak-kanak, Diandra memanggilku "Bude Monday, Tuesday, Wednesday..."

"Lho? Kok nama Bude jadi begitu, Dik?" tanyaku, yang lalu dijawab sambil lalu oleh Diandra, "Kan Bude Harry..." (hari, nama-nama hari, Red)

Rupanya, dia baru belajar nama-nama hari dalam bahasa Inggeris di sekolah.

Cerita Lucu 3

Cerita ini juga pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).
Tapi kali ini mengenai keponakanku yang lainnya, mbak Diandra Setiarini Prajoko (panggilannya Dian).

Suatu hari, adikku Mita mengajakku makan siang bersama anak-anaknya, Dennis (9 tahun) dan Diandra (6 tahun) di restoran. Sehabis makan, adikku mengajak Diandra untuk cuci tangan di wastafel, sementara aku yang menunggu di meja mengatakan, "Dik, Bude minta teh manismu ya. Minuman Bude sudah habis." 

Diandra menjawab, "Boleh..."

Setelah dia kembali dengan Ibunya, sebelum aku sempat berkata apa-apa, Diandra mengatakan, "Terima kasih, Bude'"

"Lho? Harusnya kan Bude yang bilang terima kasih, karena minta minumanmu" kataku, yang lalu ditanggapi oleh adikku, "Dia bilang terima kasih karena Bude sudah membantunya menghabiskan minumannya."

Cerita Lucu 2

Satu lagi cerita lucu dari Bayu.
Cerita ini juga pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).

Arka keponakanku (3,5 tahun) suka sekali bermain make believe (berpura-pura). Suatu saat dia menjadi Planet Saturnus, atau kucing, dan lain sebagainya, dan hanya menyahut bila dipanggil dengan “namanya” saat itu.

Suatu hari, sebelum berangkat ke supermarket, dia bilang, “Mama, hari ini Arka jadi tukang ojek.” Itu adalah tanda, bahwa dia hanya akan menyahut bila dipanggil “tukang ojek.”

Saat sedang berjalan berdua bersama Ayahnya di supermarket, ada seorang sales promotion girl yang mengajaknya berkenalan, “Aduh, adik ini lucu sekali. Siapa namanya?”

Dengan wajah polos Arka menjawab, “Abang ojek…”

Dengan muka merah padam, Ayahnya mengatakan, “Namanya Arka, Mbak” sambil menggendong Arka dan meninggalkan tempat itu.

Cerita Lucu 1

Arka Bayu Satyajati.
Anak sulungnya adik laki-lakiku ini waktu kecilnya lucuuu sekali. Wajahnya imut-imut pula.

Dulu dipanggilnya Arka. Tapi setelah tumbuh besar, rupanya dia kesulitan menyebut huruf 'R' alias pelat/pelo. Karenanya, di usia 5 tahun, dia minta dipanggil Bayu.

Ini ada beberapa cerita lucu yang melibatkan mas kiyut (cute) yg nggak mau dipanggil 'cute'. Hehehehe...

Cerita ini pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).

Sejak memiliki anak, dengan alasan kesehatan, Adi adikku dan Liza istrinya tidak menggunakan obat anti serangga dirumah. Karenanya, diusianya yang sudah hampir 4 tahun, Arka keponakanku jarang melihat berbagai bentuk dan jenis obat anti serangga.
Sampai suatu hari saat Arka mengunjungi kami, dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di salah satu kamar tidur. “Ini apa, Budhe?”
“Itu obat nyamuk.”
Sejenak Arka terdiam, lalu mengatakan, “Ooooh… kalo nyamuknya sakit, dikasih obat ini ya, Budhe?”