Tanggal tua begini, kalo pengen makan enak dan murah, salah satu alternatif pilihannya adalah makan di warteg. Apalagi, my body is not delicious begini (kurang enak badan, maksudnya, Red), malas mau masak. Jadi deh, ke warteg adalah pilihan terbaik.
So... Mas Harry ngajak makan di warteg deket tempat dia memperbaiki kaca spion si Bungsu yg kesrempet mobil tempo hari. Warungnya kecil dan sederhana sekali, sesuai dengan namanya, Warung Nasi Sederhana, di jalan Cipinang Baru Utara.
Lauk jagoanku kalau makan di warteg adalah telur dadar. Tauk nih, udah beberapa hari ini pengeeen banget makan telur dadarnya warteg...
Aku memilih lauk urap (minta ditambahin), sayur jamur & tahu, kering tempe dan telur dadar. Nasi putihnya setengah aja. Tau sendiri kan, ukuran nasi putihnya warteg biasanya buat ukuran perut segede tanki truk, sementara perutku seukuran tanki sepeda motor (NOT). Hehehehehe.
Mas Harry memilih lauk ikan tongkol, sayur jamur & tahu, tumis kacang panjang dan telur dadar.
Dengan minum 2 es teh manis, total kerusakan cuma Rp.32.000,-
Sekalian aja kami beli lauk buat makan malam nanti. Maklum, kan lagi males masak karena badan semriwing...
Untuk beberapa orang, makan di warteg mungkin tidak menarik. Apalagi kalau melihat tempatnya, yg kadang2 memang amat sangat sederhana, cenderung bobrok dan jorok. Tapi kita kan bisa memilih warteg2 yg besar dan bersih.
Makan di warteg itu seru, lho. Pilihan lauknya banyak, harganya murah, dan rasanya enak. Ini ada contoh dari lauk-lauk yg ada di warteg CBN di Jl. Kebon Sirih Timur, Jakarta (sebelah kiri jalan hampir berseberangan dengan toko Djody Art & Curio).
Ayo... siapa yg gak ngeces ngeliat lauk-lauk enak begini, coba...
Yuk... kita makan di warteg. Biar perekonomian kecil berjalan terus...
Minggu, 22 Februari 2015
Selasa, 17 Februari 2015
Melacak Juhanda.
Salah
seorang teman AIYEP-ku, Juhanda, adalah wakil dari Jawa Timur. Dia bertindak
sebagai penghubung karena fase Indonesia kami diselenggarakan di Jember, kota
asalnya. Seperti dengan kebanyakan teman-teman lain, setelah program selesai,
aku kehilangan kontaknya. Aku ingiiin sekali bisa menyambung silaturrahim kami.
Tapi bagaimana caranya? Aku tidak punya alamat atau nomor telepon rumahnya,
karena di tahun 1988 itu, rumah orangtuanya yg di desa belum tersedia sambungan
telepon.
Mungkin
perlu aku ingatkan ya… Program kami itu tahun 1988, sebelum jamannya personal
computer, boro2 tablet. Belum ada handphone, boro2 smartphone, android,
blackberry atau iPhone. Jadi, keeping in touch means land line (teleponnya Telkom),
atau surat-menyurat melalui kantor pos. That was not easy, you know…
So…
Kembali ke Juhanda…
Aku
ingat, saat dia mengikuti program itu, dia adalah juga aktivis HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) di kampusnya, Universitas Jember. Karena rumah orangtuanya yg
cukup jauh dari kota Jember, yaitu di daerah Kencong (ucapan huruf “e”-nya
seperti dalam kata “kena”), maka dia menggunakan alamat Sekretariat HMI kota
Jember sebagai alamat surat-menyuratnya.
Berbekal
informasi itu, aku berinisiatif mengirim sebuah surat yg aku tujukan ke
Sekretaris HMI Jember saat ini (sekitar tahun 2006 atau 2007). Pikirku,
semestinya, pak pos pasti tau alamat Sekretariat HMI. Jadi, di amplop surat,
aku hanya menuliskan:
Kepada Yth:
Sektretaris HMI
Kota Jember,
Jawa Timur.
Sektretaris HMI
Kota Jember,
Jawa Timur.
Adapun
isi suratnya, antara lain begini:
Bahwa
saya punya teman yg bersama-sama mengikuti PPIA pada tahun 1988, namanya
Juhanda. Saat itu, ia adalah anggota HMI. Sekiranya HMI memiliki data-data
mengenai anggotanya, mohon agar meneruskan surat ini kepadanya. Dan meminta
agar dia menghubungi saya di alamat ini, nomor telepon dan HP sekian-sekian.
Dengan
mengucapkan basmalah, aku mengirimkan surat itu dengan tanpa harapan sama
sekali. Takut kecewa, booo…
Tapi
terus terang, aku tetap berdoa agar surat tersebut dapat diterima oleh orang yg
berkepentingan, dan kemudian diteruskan ke teman yg aku maksud.
Beberapa
waktu berlalu…
Sekitar
5 minggu kemudian, saat aku lagi berada dirumah kakak iparku, aku mendapat
telepon di HP-ku. Dari 1 nomor seluler yg tidak aku kenal. Tapi begitu si
penelepon mengucapkan namaku, aku langsung tau bahwa itu Juhanda!!! Masya Allaah…
Alhamdulillaah…
Aku tidak bisa tidak hanya tersenyum lebar sambil berbincang dengan dia… Allahu
Akbar…
Allah
berkenan menjawab doaku, dan mempertemukan kembali aku dengan teman yg sudah
aku anggap seperti kakak sendiri…
Ternyata, apa yg menjadi pemikiranku saat mengirim surat itu tepat. Pak pos memang mengantarkan surat tsb ke sekretariat HMI Jember.
Anggota atau pengurus HMI Jember memang menyimpan data anggota2nya, atau memang masih berhubungan, sehingga bisa meneruskan surat itu ke mas Ju...
Senin, 16 Februari 2015
My AIYEP
Ke
Australia!!! Gratis (malah mendapat uang saku), tinggal dengan orangtua angkat,
mendapat pengalaman kerja, belum lagi mendapatkan pengalaman yg tidak akan
terlupakan seumur hidup… Rasanya seperti dapat rejeki nomplok!
Begitu
lah yg aku rasakan sewaktu mendapat kepastian bahwa aku berhasil menjadi salah
satu wakil dari Jakarta untuk menjadi peserta program ini. Di tahun yg sama, alm.
mas Wawan mengikuti program Pertukaran Pemuda Indonesia Kanada.
Informasi
mengenai program ini kami dapatkan dari kak Bambang, Pembina kami di Purna Paskibraka
Jakarta Barat. Tahun 1986, kak Bambang mengikuti program ini. Kami berdua, aku
dan Wawan, sama-sama tertarik mengikutinya.
Langkah
pertama setelah mendaftar, adalah tahap seleksi. Tes tulis mencakup pengetahuan
umum, kewarganegaraan, dan Bahasa Inggeris. Juga ada tes kesenian, dimana para
peserta program diharapkan menguasai salah satu bentuk kesenian tradisional
Indonesia, dikhususkan kesenian daerahnya masing-masing, dalam hal ini,
kebudayaan Jakarta.
Alhamdulillah,
kami berdua lulus!! Wawan ke Kanada, aku ke Australia.
Secara
garis besar, program AIYEP tahun 1988 adalah sebagai berikut.
Dari
daerah asal kami masing2, kami dikumpulkan di Bumi Perkemahan Cibubur untuk
masa persiapan (Pre-Departure Training) selama 10 hari. Enam belas
pemuda-pemudi (8 laki-laki, 8 perempuan) dari 13 propinsi di Indonesia. Kami
dipersiapkan untuk menjadi duta bangsa, tidak lagi mewakili pribadi, keluarga,
atau propinsi, tapi kami akan mewakili bangsa Indonesia. Persiapannya tidak
boleh main-main…
Setelah
10 hari, kami-pun berangkat ke Australia, dimana yg menjadi tuan rumah adalah negara
bagian Queensland.
Di
Brisbane, ibukota Queensland, kami menjalani masa orientasi lagi selama sekitar
5 hari, sebelum kemudian tinggal di keluarga angkat yg pertama di Stanthorpe,
yg merupakan kota kecil (fase rural) selama 2 minggu. Selain bekerja (magang)
atau membantu pekerjaan di perkebunan milik keluarga, kami juga mengadakan kunjungan
ke sekolah2, dan menutup fase di Stanthorpe dengan pertunjukan kesenian.
Selesai
dari daerah terpencil atau kecil, kami kembali ke Brisbane untuk tinggal di
keluarga angkat yg kedua. Kegiatan kami disini adalah magang di perusahaan2
atau kantor2 sesuai dengan spesifikasi yg kami berikan. Perpisahan dengan
keluarga angkat juga ditutup dengan pertunjukan kesenian.
Setelah
2 fase tersebut tuntas, kami diajak berlibur ke Utara, yaitu ke kota
Townsville. Berangkat naik pesawat, pulang ke Brisbane naik kereta api. Kami
diajak ke Coochie Mudlo Island, ke hutan hujan, dan tempat-tempat menarik
lainnya. Yah, namanya juga lagi berlibur…
Selain
kegiatan magang, pertunjukan kesenian dan jalan-jalan, kami juga melakukan
kunjungan kehormatan ke petinggi2 kota dan Negara bagian, yaitu walikota
Brisbane dan Gubernur Jenderal Negara Bagian Queensland. Dan karena pada saat
yg bersamaan Brisbane sedang menjadi tuan rumah untuk World Expo 1988, maka
kami pun berkesempatan mengunjungi ajang pameran besar kaliber dunia itu.
Bayangkan Pekan Raya Jakarta, tapi stand-stand atau paviliun2 yang ada
merupakan perwakilan suatu negara! Sungguh suatu pengalaman yg belum tentu bisa
diulang kembali…
Selesai
fase Australia, kami-pun dipasangkan dengan pemuda-pemudi Australia
(counterpart), kemudian melanjutkan program ke Indonesia. Counterpart-ku, Kathy
Taylor, adalah seorang mahasiswi yg berasal dari kota kecil, Gympie.
Keluarganya adalah keluarga petani. Saat ini ia bersama suaminya tinggal di
London, dan sudah memiliki 2 orang anak.
Tiba
di Jakarta, kami menjalani masa orientasi lagi, khususnya utk peserta
Australia. Jangan salah… Mereka juga perlu beradaptasi dengan situasi dan
kebiasaan2 di Indonesia, lho. Contohnya, antara lain adalah menyeberang jalan.
Di
Australia, jika ada pejalan kaki yg akan menyeberang di zebra cross, hampir bisa
dipastikan, pengemudi kendaraan bermotor akan berhenti memberi kesempatan untuk
menyeberang. Sementara disini, whooo… kalian tau sendiri gimana kondisinya,
kan? Kalau mereka tidak diberi tahu kondisi ini, bisa2 mereka akan tertabrak
sepeda motor saat mereka akan menyeberanng.
Selain
itu, beberapa dari mereka berasal dari kota kecil di Australia. Saking
kecilnya, mereka tidak pernah mengalami macet, bahkan ada juga yg tinggal di
kota yg tidak ada lampu lalu lintas!! Ternyata, mereka ada juga yg lebih kamso
daripada kita, ya? Hehehehehehe…
Fase
Indonesia akan diadakan di kota Jember, Jawa Timur. Kami berangkat naik kereta
api ke Surabaya, disambung dengan bus charter. Tiba di Jember, kami langsung
disambut dg acara seremonial, dimana kami langsung akan bertemu dg keluarga2
angkat kami masing-masing.
Orangtua
angkat kami yg pertama adalah Walikota Jember. Kami tinggal dirumahnya selama 2
minggu. Kemudian berpindah ke rumah keluarga Darminto, seorang pejabat di PTP
XII. Giliran berikutnya, kami tinggal di satu keluarga pemilik peternakan
campur di kota Jember. Dan keluarga angkat yg terakhir adalah di keluarga
seorang pejabat di PTP XI, yg rumahnya berada sedikit keluar kota. Halaman
rumahnya besaaar, ada banyak pohon buah-buahan seperti rambutan, durian, jambu
bali, dll. Karena tempatnya mencukupi, mereka menerima 2 pasang peserta. Selain
aku dan Kathy, juga ada Miswan Penyang dan Peter Bartu.
Seperti
fase2 di Australia, di Jember ini pun kami melakukan magang. Namun pemilihan
tempat magangnya sungguh menarik, karena tidak bisa kami bayangkan sebelumnya.
Tempat
magangku yg pertama adalah sebuah salon kecantikan, dimana aku dan Kathy
belajar memotong rambut, mencuci rambut dan melakukan creambath. Ketrampilan
memotong rambut ini pernah kami praktekkan ke adik-adik angkat kami di keluarga
Darminto, yg memiliki 4 orang anak perempuan.
Tempat
magang kedua dan keempat adalah kantor PTPN XII dan PTPN XI. Namun kami hanya
menjadi tamu. Tidak banyak yg kami lakukan, hanya melakukan kunjungan-kunjungan
ke sub unit mereka seperti ladang tembakau, gudang tembakau, kantor litbang,
dll.
Tempat
magang ketiga adalah peternakan milik keluarga angkatku. Peternakan mereka
disebut peternakan campur atau mix farming karena mereka memiliki sapi perah
dan ayam petelur. Tugas kami setiap hari adalah mengumpulkan telur2 ayam dari
kandang kemudian dikemas. Untungnya, kami tidak diharuskan memerah susu karena
sudah dikerjakan oleh petugasnya. Kami hanya mengemas susu-susu itu dalam plastik
kemasan 250 ml dan 500 ml. Kemudian besok harinya, kami bangun pk. 04 dini hari
untuk ikut mendistribusikan susu-susu tersebut ke para pelanggan.
Kami
juga mendapat jatah liburan selama di Jember. Sayangnya, rombongan terpaksa dibagi
dua karena ada 2 keinginan. Sebagian (kebanyakan teman-teman bule kami) ke
gunung Bromo, sementara sebagian lain, termasuk aku, memilih berkunjung kerumah
orangtua kawan kami, Juhanda, di desa Kencong.
Kira-kira,
begitulah yg aku alami selama aku menjalani program pertukaran ini.
Sedikit-sedikit, aku akan menceritakan lebih mendetil beberapa segmen selama
program, yg mengena dihatiku dan masih terpatri kuat di ingatan… Ditunggu ya…
Kamis, 12 Februari 2015
Pertukaran Pemuda Indonesia Australia 1
Tahun
1988, saat aku masih kuliah di tahun kedua di Fakultas Psikologi UI, aku
mengambil cuti kuliah selama 1 semester untuk mengikuti program Pertukaran
Pemuda Indonesia Australia (PPIA) atau AIYEP (Australia Indonesia Youth
Exchange Program).
Program
ini pertama kali diadakan pada tahun 1981-1982. Saat aku berpartisipasi,
pesertanya berjumlah 16 orang, yg terdiri dari 8 orang laki-laki dan 8 orang
perempuan, yg berasal dari 13 propinsi. Tapi sejak beberapa tahun yg lalu
bertambah menjadi 18 orang, 9 orang laki-laki dan 9 orang perempuan.
Program
itu terselenggara berkat kerjasama antara DFAT (Department of Foreign and
Trade) dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Namun belakang hari beralih ke
Australia Indonesia Institute (AII) dan ke Kantor Menteri Muda Pemuda dan
Olahraga, yg sekarang bernama Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Program
berlangsung selama kurang lebih 4 bulan yg terbagi menjadi 2 fase, yaitu fase
Australia dan fase Indonesia. Di setiap fase negara itu, para peserta akan
menjalani program di kota besar dan di kota kecil. Selama itu, kami akan
tinggal bersama foster family atau keluarga angkat. Kegiatan utamanya adalah
magang, juga mengadakan pertunjukan kebudayaan.
Magang
atau work experience-nya sedapat mungkin disesuaikan dengan keinginan si
peserta. Bisa yg sesuai dengan latar belakang pendidikannya, atau hobby-nya.
Ada yang ingin menjadi guru, atau pengacara, atau jurnalis, dll.
Waktu
diantara fase rural (kota kecil) dan urban (kota besar) disediakan untuk
liburan sejenak (mid break).
Selesai
menjalani fase di Australia, para pemuda-pemudi kita akan dipasangkan dengan
para pemuda Australia, laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan.
Namanya counterparting. Kemudian, mereka ber-36 orang akan bersama-sama menjalani
fase di Indonesia.
Hampir
sama dengan di Australia, selama di Indonesia-pun, para peserta akan menjalani
2 fase, yaitu di desa atau kota kecil dan di kota besar. Selama di desa atau
kota kecil, mereka akan melakukan kegiatan pembangunan desa atau yg dikenal dg
sebutan community development, dimana mereka akan menjadi agent of change atau
pemuda yang membantu pemuda setempat untuk mau membangun dan memperbaiki
kualitas hidup di desa.
Sementara
selama di kota besar, mereka juga akan melakukan kegiatan magang.
Satu
kegiatan yg juga tak kalah menarik dan menjadi salah satu fokus kegiatan ini
adalah pertunjukan budaya atau cultural performance, dimana para peserta akan
mempertunjukkan kekayaan budaya tradisional daerah asalnya masing-masing, baik
itu dalam bentuk tarian, lagu2, maupun pakaian daerah.
Di
Australia, kegiatan ini sungguh menjadi acara yang ditunggu-tunggu oleh
komunitas kota tempat mereka tinggal. Kadangkala bahkan mereka mengadakan
pertunjukan kecil di sekolah-sekolah atau di pusat keramaian seperti mall.
Program
ini ditujukan untuk pemuda Indonesia yang berusia antara 19-24 tahun. Sekolah
(kuliah) atau bekerja tak menjadi masalah, asalkan mereka belum menikah, dan
lulus seleksi yang diadakan oleh Kemenpora melalui Suku Dinas di tiap2 daerah
yang mendapat jatah. Kok begitu???
Hitung
aja deh… Peserta dari Indonesia hanya 16 orang, sementara jumlah propinsi kita
sudah 34 (dengan Kalimantan Utara). Sayangnya, hal ini membuat penggiliran
daerah2 yg akan mengirimkan wakilnya.
Selain
PPIA, Kemenpora juga menyelenggarakan pertukaran pemuda dengan Kanada, ASEAN-Jepang
(dengan kapal pesiar Nippon Maru), Malaysia, dan Korea. Setiap program memiliki
SOP dan keunikan tersendiri, dengan durasi yg berbeda2, mulai dari 2 minggu
sampai 6 bulan.
Ayo…
siapa dari kalian yg tertarik? Buat adik atau anak? Mungkin keponakan? Atau anaknya
tetangga? Siapa saja, asal memenuhi syarat.
Cari
informasi lebih lanjut dan detil ke kantor2 Suku Dinas Pemuda dan Olahraga
(Dispora) di daerah kamu atau kampus masing-masing.
Ini
contoh link mengenai kegiatan ini, baik yg ada di universitas, pemerintah kota,
maupun pemerintah propinsi.
Selasa, 10 Februari 2015
Perang Nasi Jamblang
Pertengahan Januari tahun 2013 yg lalu, ditengah kesibukan menyiapkan
garage sale dan rencana pindah rumah, mas Harry mengajakku berlibur. Walau agak
berat meninggalkan rumah karena banyak yg harus dipikirkan sehubungan dg
rencana penjualan rumah Bapak, pindahan, garage sale dll, aku memang memerlukan
sedikit hiburan utk ‘keluar’ sejenak dari keribetan dirumah. Karenanya, aku
memilih tujuan yg dekat2 saja dari Jakarta, yaitu Cirebon.
Kota yg terkenal dg julukan Kota Udang ini sebenarnya cukup
sering kami lewati. Yak, hanya dilewati dalam perjalanan kami menuju Malang,
atau Bali. Memang kami pernah 2x menginap disana dalam rangka kegiatan klub VW. Tapi padatnya
acara VW membuat kami tidak pernah menjelajah kota, tempat2 wisata dan
kulinernya. Menurutku, inilah saat yg tepat utk benar2 mengenali kota itu. Kami
menjadwalkan perjalanan ini selama 4 hari 3 malam.
Selama kami disana, akhirnya kami berkesempatan mencicipi
makanan khas Cirebon yg sudah lama kubaca review-nya di milis atau blog teman-teman
sesama penggemar kuliner dan jalan-jalan, yaitu nasi Jamblang pelabuhan. Tidak hanya disitu, tapi juga nasi
jamblang di tempat2 lain. Tepatnya, di 4 tempat yg berbeda. Begitu juga dengan
empal gentong. Karena mas Harry gak suka makanan berbahan daging sapi ini, jadi
hanya aku yg makan. Makanya tulisan ini aku beri judul Perang Nasi Jamblang.
Malam pertama kami di Cirebon, rencananya kami akan
mencicipi nasi jamblang Mang Dul, yg menurut review yg kubaca juga merupakan
tempat makan nasi jamblang yg terkenal. Namun kami mendapat masukan dari
pegawai hotel tempat kami menginap mengenai Nasi Jamblang Ibu Nur. Menurut
sepengetahuan mereka, nasi jamblang Mang Dul hanya buka di pagi sampai siang
hari. Tapi nasi jamblang Bu Nur ini buka sampai malam, dan sedang “in” saat
ini. Dan karena secara lokasi memang dekat dg hotel, akhirnya kami memutuskan untuk
mengunjungi Bu Nur di malam pertama itu.
Memang relatif mudah mencapainya. Di jalan Tuparev, hampir
berseberangan dg restoran cepat saji Mc Donald, ada jalanan berbelok kekiri
(ada plank apotik apa, gitu). Itu masuk jl. Cangkring Tengah. Dari belokan itu, kira-kira 500 meter kedalam,
sampailah kita di restoran nasi jamblang Bu Nur di sebelah kanan jalan.
Sebagaimana layaknya penjual nasi jamblang lainnya, kami
disambut dg berbagai jenis lauk dalam baskom kaleng. Malam itu mas Harry
memilih lauk cumi masak hitam, udang goreng saus asam manis, semur tahu dan
perkedel basah (karena ada perkedel kering). Sementara aku memilih telur dadar,
tempe goreng, pepes rajungan dan semur lidah. Dengan minuman jus jambu-jeruk
dan es teh manis, total kerusakan mencapai Rp.49.000,-
Esok harinya, kami menjadwalkan perjalanan ke Gua Sunyaragi
dan Sangkan Hurip utk berendam dg air panas. Kami tiba di Sangkan Hurip
menjelang makan siang (well, masih jam 10.30 sih) tapi perut sudah minta diisi.
Akhirnya, kami berhenti sejenak di warung Abah Oji di pinggir jalan yg menjual
menu makanan empal gentong dan nasi jamblang. Akhirnya, ada kesempatanku utk
mencicipi empal gentong tanpa harus membuat mas Harry “menderita” karena gak
ikut makan, karena dia bisa makan nasi jamblang. Perfect!
Warungnya sederhana sekali. Pilihan lauknya pun tidak
banyak, hanya ada sekitar 12 jenis (dibandingkan dg 35-40 jenis lauk di Bu Nur
dan Mang Dul). Disini, mas Harry memilih lauk telur dadar, tahu goreng,
perkedel dan udang goreng. Tapi menurut mas Harry, lauknya enak, bahkan lebih
enak daripada nasi jamblang Bu Nur semalam. Empal gentongnya pun enak. Sayangnya, aku lupa berapa yg harus kami bayar
pagi itu.
Pulang dari Sangkan Hurip, mas Harry mengajakku berburu
printilan sepeda onthel. Kamipun menuju jl. Fatahillah. Dalam buku wisata
Cirebon yg kubaca, di daerah itu ada empal dengkul yg terkenal. Wah, kebetulan
sekali, seperti sudah diatur, rupanya pasar sepeda itu dekat dg warung Empal
Dengkil Mang Kojek! Jadilah selama mas Harry berburu, aku pun berburu hal yg
lain. Empal dengkul… :-)
Warung pinggir jalannya cukup besar, bersebelahan dg penjual
es kelapa muda. Karena memang bukan saatnya makan, aku hanya pesan empal
dengkul tanpa nasi dan segelas es kelapa jeruk. Untuk rasa, memang enak. Dan
unik karena jarang sekali penjual empal gentong yg menggunakan dengkul sebagai
bahannya. Seporsi empal dengkul, dengan atau tanpa nasi, harganya Rp.20.000,-.
Nasinya pun self service alias ambil sendiri. Mau sedikit atau banyak, atau gak
pake sama sekali, silakan saja. Sementara es kelapa jeruknya Rp.6.000,-
segelas.
Malam kedua itu kami memutuskan mendatangi Mang Dul.
Berdasarkan masukan teman-teman di facebook, rupanya sudah beberapa lama ini
Mang Dul tidak hanya buka dari pagi hingga siang saja, tetapi mereka buka
kembali dari sore hingga malam. Malam agak gerimis tidak membuat kami mundur
dari rencana. Setelah agak nyari2 (karena lokasinya dekat dg perempatan yg
sibuk dan ramai, kami sempat agak kesulitan menemukannya) akhirnya ketemu lah
nasi jamblang Mang Dul.
Sebenarnya gampang aja nyarinya (kalau udah tau…). Lokasinya
di Jl. Cipto Mangunkusumo, di seberangnya Grage Mall, dekat dengan prapatan lampu
lalu lintas.
Disini, mas Harry memilih lauk ceplok, sate kentang, semur tahu
dan ikan tengiri. Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, paru goreng
dan pepes kerang. Plus 2 gelas teh manis hangat, total kerusakan hanya
Rp.29.000,-!!!
Lalu, bagaimana hasil perangnya? Tunggu dulu… masih ada 1
tempat nasi jamblang lagi yg kami datangi. Itulah nasi jamblang pelabuhan yg
terkenal…. Hari terakhir kami di Cirebon, kami sengaja tidak memanfaatkan
fasilitas sarapan di hotel karena ingin mencicipi makanan di tempat ini, yg
katanya hanya buka pagi hari (jam 9 sudah habis!).
Pagi itu, belum mandi (oops… hehehehe) kami bergegas
berangkat kearah pelabuhan. Takut kehabisan lauk! Sampai disana, ternyata
lauknya masih cukup banyak. Mas Harry memilih telur dadar, cumi masak hitam,
perkedel kentang, sate udang dan semur tahu. Dan aku memilih perkedel kentang, cumi masak hitam, telur dadar, tempe
goreng dan semur tahu.
Kesimpulan:
1. Lauk di nasi jamblang pelabuhan cenderung
terlalu asin untuk lidah kami.
2. Pilihan lauk di Mang Dul dan Bu Nur hampir sama
banyaknya. Rasanya pun hampir sama enaknya. Yang membedakan hanya suasana
tempat makannya. Tempat makan di Bu Nur lebih luas dan lega.
3. Tapi dari 4 tempat makan nasi jamblang itu,
menurut lidah mas Harry, juaranya adalah Warung Abah Oji di Cilimus, Kuningan.
Senin, 09 Februari 2015
Oleh-Oleh Perjalanan 2
Masih seputar oleh-oleh saat kami bepergian ke Amerika
Serikat Desember 1996.
Seperti biasa, setiap melakukan perjalanan, kami selalu
berusaha untuk memberikan oleh-oleh untuk orang-orang yang dekat dengan kami.
Keluarga, sahabat dan teman. Dalam hal ini, aku ingin menceritakan pengalamanku
membeli oleh-oleh untuk teman-teman kantor mas Harry.
Sejak sebelum berangkat, mas Harry sudah mewanti-wanti aku
untuk membuat daftar oleh-oleh. Si A mau dikasih ini, si B mau dibawain itu, si
C cocoknya dikasih apa, dst… dst.
Waktu itu, posisi mas Harry di kantor
membawahi banyak orang. Maklum lah, di bagian General Services. Dibawahnya, ada
operator telepon, pengemudi, office boy/girl, cleaning service, belum lagi staf
yg berada langsung dibawahnya, dan teman2 di bagian atau divisi lain. Walah…
Kalo mau dikasih semua, alamat kami bakal kehabisan duit, deh… Karenanya, kami
sepakat hanya akan memberi ke beberapa orang yang secara langsung memang banyak
membantu pekerjaan mas Harry di kantor.
Aku kemudian membuat daftar tersebut di sebuah buku kecil
yang akan kubawa. Selain daftar dari mas Harry, aku juga membuat daftar untuk
teman-teman atau keluargaku sendiri.
Singkat cerita, saat berada di Orlando, Florida, atau San
Francisco dan Los Angeles, California, aku memanfaatkan penawaran dari gift
shops yang menjual barang2 lucu dalam jumlah banyak. Misalnya, 10 buah
ballpoint seharga $6, atau 1 set mini branded parfum berisi 4 atau 6 botol
seharga $20, dsb. Sesuai daftar, aku membeli barang2 tersebut. Tapi on a hunch,
aku memutuskan membeli 1 set ballpoint dan 1 set mini parfum extra. Perasaanku
mengatakan, ada 1-2 orang yang lupa belum dimasukkan ke dalam daftar.
Tapi saat mengetahui hal tersebut, mas Harry menegurku. “Kamu
harus mengikuti catatan. Stick to the list! Jangan beli melebihi dari apa yang
sudah kita sepakati,” katanya agak marah. Tapi aku berkelit dengan mengatakan
kalau aku juga ingin punya ballpoint atau parfum itu. Mas Harry terus diam
aja…
Sampailah kami kembali di rumah. Sisa cuti yang masih ada 2
hari, aku pergunakan untuk memilah-milah oleh-oleh itu. Masing-masing barang
kuberi nama calon penerimanya, khususnya yg untuk teman2 mas Harry di kantor.
Mana dia mau menghapal ini buat siapa, itu untuk siapa, kan?
Sesuai dengan daftar, aku berikan semua oleh-oleh yang sudah
bernama itu ke mas Harry untuk didistribusikan ke teman2nya.
Sore hari waktu mas Harry pulang kantor, dia tanya, “Say,
masih ada gak parfum mininya?”
Kujawab, “Masih. Emangnya mau ngasih buat siapa?”
“Buat si Anu,” kata mas Harry.
“Lho… buat si Anu kan tadi pagi sudah ada. Sudah kukasih ke
mas Harry…”
“Iya. Tapi tadi waktu mau ke tempatnya si Anu, saya ketemu
si X. Dia minta oleh-oleh. Jadi, jatahnya si Anu saya kasih ke si X”
WHAAAAT…?????
*elus dada, tarik napas panjang, Mia…*
*elus dada, tarik napas panjang, Mia…*
“OK, masih ada kok.” Jatahku jadi berkurang, deh…
Hehehehehe.
Besok paginya, mas Harry membawa oleh-oleh extra itu ke
kantor.
Sore hari… Mas Harry pulang kantor. Terus dia tanya lagi, “Say,
ballpoint-nya masih ada gak? Dua buah…”
“Buat siapa?” tanyaku.
“Buat si A sama si B” kata mas Harry.
“Lho… ballpoint buat si A dan B kan udah kukasih kemarin…
Bareng dengan yg buat teman2 mereka…”
Kata mas Harry, “Iya, kemarin si A dan si B masuk shift
siang. Eh, terus si M dan N minta oleh-oleh. Ya jatahnya si A dan si B saya
kasih aja ke M dan N.”
GUBRAAAKS…
What ever happen to “Stick to the list” thing…????
Tapi, berhubung aku kenal baik dengan A dan B, juga dengan M
dan N, akhirnya aku keluarin juga persediaan oleh-oleh extraku itu, walau
dengan hati sedikit dongkol.
Dongkolku itu ke mas Harry, karena selama perjalanan, setiap
kami masuk ke toko atau gift shops, dan mas Harry melihat aku membeli sesuatu,
dia selalu kekeuh mengatakan, “Stick to the list”, “Jangan membeli lebih banyak
daripada (yang sudah di) daftar” sehingga aku sampai harus mengeluarkan ‘jurus’
pamungkas “aku juga pengen”…
Keesokan harinya, mas Harry berangkat ke kantor dengan
membawa 2 ballpoint extra untuk si A dan si B.
Kembali sore hari, mas Harry pulang kantor. Eh, dia nanya
lagi… “Say, ballpoint-nya masih ada 2 lagi, nggak?”
AMPUUUUN DIJEEEEEY….!!!!!
“Buat siapa?”
“Buat si S dan si T”, yang, sekali lagi, sebenarnya sudah
ada di daftar pertama yg kami buat sejak sebelum kami berangkat. Sepertinya,
mas Harry udah merasa nggak enak duluan, karena dia langsung menjelaskan
peristiwanya tanpa aku tanya. Seperti yang sudah-sudah, ada temannya yg tidak
ada dalam daftar yg minta jatah oleh-oleh. Gak bisa menolak, kemudian mas Harry
memberikan jatah oleh-oleh yang ada di daftar ke mereka.
Hellooo… Aku juga punya teman yang terpaksa tidak aku kasih
oleh-oleh karena memang tidak ada dalam daftar. Kalo aku harus mematuhi daftar
itu, adil dong kalo aku juga minta mas Harry mematuhinya?
Jadinya… walau sebenarnya aku masih punya beberapa oleh-oleh
extra, tapi aku putuskan untuk menjawab, “Udah gak ada.”
Lha habis, bagaimana? Waktu aku beli, dia marah2. Tapi
giliran begini, dia minta2 melulu. Emangnya enak belanja tapi dimarahin?
Makanya… kalo istri beli sesuatu, percaya aja deh, kalo itu
demi kebaikan kita bersama. Mending beli lebih daripada kurang. Kan belum tau
lagi, kapan kita bisa balik ke sana…
Oooh… balada oleh-oleh…
Kalian pernah ngalamin hal seru apa seputar oleh-oleh?
Cerita Lucu 8
Kalo cerita yang satu ini, melibatkan Puthut, keponakan tertua suamiku, waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Sekarang sih, dia sudah menjadi dokter gigi, bahkan sudah lama menyelesaikan pendidikan S2-nya dan saat ini menjadi PNS di kementrian Kesehatan.
Puthut, keponakan suamiku Harry, sudah menunjukkan kepandaiannya sejak masih kecil. Saat SD , guru Matematikanya yang mengenal suamiku, memberi soal sebagai berikut, “Puthut, Oom Harry punya satu butir apel, lalu dibagi dua. Puthut dapat berapa bagian?”
Dijawab oleh Puthut, “Seperempat, Pak Guru.”
“Lho, Puthut belum hafal pembagian, ya? Satu dibagi dua kan jadinya setengah.”
“Pak Guru nggak tau Oom Harry. Kalo 1 apel dibagi 2 sama rata, benar Puthut dapat setengah. Tapi kalau Oom Harry yang membagi, Puthut kebagian seperempat.”
Cerita Lucu 7
Keponakanku, Arka ketika berumur 3,5 kesulitan membedakan antara bebek dengan angsa. Iparku Liza, berusaha membantu anaknya itu dengan mengatakan bahwa bebek memiliki leher pendek, sementara angsa lehernya panjang.
Sambil berusaha mengolah informasi tersebut, Arka melihat adikku yang bertubuh besar, yang duduk tidak jauh dari mereka.
“Ma, Papa nggak punya leher ya…”
Tertawa, Liza menjawab, "Papa punya leher, Arka. Cuma nggak kelihatan." Tapi Arka masih berkeras bahwa Papanya tidak mempunyai leher, sampai akhirnya percaya setelah ditunjukkan lehernya.
Cerita Lucu 6
Pamanku yang ketika itu bekerja di pabrik gula di Situbondo baru saja membeli mobil. Pada saat berlibur, kami berkesempatan mengunjungi Paman dan keluarganya.
Di hari kami tiba, kami berbincang-bincang dengan supir Paman, yang adalah orang Madura. “Pak, mobil apa sih yang dibeli Paman?”
“Oh, itu lho… Toyota Marki’i.”
Setelah kami melongok ke dalam garasi, pecahlah tawa kami karena ternyata yang dimaksud oleh Pak Supir adalah Toyota Mark II.
Cerita Lucu 5
Keponakanku, Asha, 5 tahun, sangat dekat dengan Neneknya yang dipanggilnya Eyang Ti. Begitu dekatnya, sampai sulit dipisahkan, kecuali jika Ayahnya sedang mendapat jatah libur dari pekerjaannya yang mengharuskannya tinggal di Ternate.
Karena jarang bertemu, Kunto sangat menikmati saat-saat bersama putri tercinta, dan berusaha agar Asha banyak menghabiskan waktu dengannya, sebelum ia harus kembali bekerja.
Usahanya terbayar saat libur kemarin. Asha ditemani oleh Eyang Ti-nya diajak oleh Ayahnya berlibur ke Yogyakarta, sementara Mama tetap di Jakarta bersama adik Raynart yang baru berumur beberapa bulan.
Suatu malam saat baru check-in di hotel, Asha bertanya pada neneknya, "Eyang, 'Yang Ti takut setan nggak?"
Eyangnya menjawab, "Nggak, Eyang nggak takut sama setan."
"Kalau begitu, malam ini Eyang bobo sendiri ya. Asha mau bobo sama Papa."
Cerita Lucu 4
Masih dari mbak Diandra.
Untuk Diandra keponakanku, aku dan suamiku dipanggil Bude Mia dan Pakde Harry. Sampai suatu hari saat baru pulang dari sekolahnya di taman kanak-kanak, Diandra memanggilku "Bude Monday, Tuesday, Wednesday..."
"Lho? Kok nama Bude jadi begitu, Dik?" tanyaku, yang lalu dijawab sambil lalu oleh Diandra, "Kan Bude Harry..." (hari, nama-nama hari, Red)
Rupanya, dia baru belajar nama-nama hari dalam bahasa Inggeris di sekolah.
Cerita Lucu 3
Cerita ini juga pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).
Tapi kali ini mengenai keponakanku yang lainnya, mbak Diandra Setiarini Prajoko (panggilannya Dian).
Suatu hari, adikku Mita mengajakku makan siang bersama anak-anaknya, Dennis (9 tahun) dan Diandra (6 tahun) di restoran. Sehabis makan, adikku mengajak Diandra untuk cuci tangan di wastafel, sementara aku yang menunggu di meja mengatakan, "Dik, Bude minta teh manismu ya. Minuman Bude sudah habis."
Diandra menjawab, "Boleh..."
Setelah dia kembali dengan Ibunya, sebelum aku sempat berkata apa-apa, Diandra mengatakan, "Terima kasih, Bude'"
"Lho? Harusnya kan Bude yang bilang terima kasih, karena minta minumanmu" kataku, yang lalu ditanggapi oleh adikku, "Dia bilang terima kasih karena Bude sudah membantunya menghabiskan minumannya."
Cerita Lucu 2
Satu lagi cerita lucu dari Bayu.
Cerita ini juga pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).
Arka keponakanku (3,5 tahun) suka sekali bermain make believe (berpura-pura). Suatu saat dia menjadi Planet Saturnus, atau kucing, dan lain sebagainya, dan hanya menyahut bila dipanggil dengan “namanya” saat itu.
Suatu hari, sebelum berangkat ke supermarket, dia bilang, “Mama, hari ini Arka jadi tukang ojek.” Itu adalah tanda, bahwa dia hanya akan menyahut bila dipanggil “tukang ojek.”
Saat sedang berjalan berdua bersama Ayahnya di supermarket, ada seorang sales promotion girl yang mengajaknya berkenalan, “Aduh, adik ini lucu sekali. Siapa namanya?”
Dengan wajah polos Arka menjawab, “Abang ojek…”
Dengan muka merah padam, Ayahnya mengatakan, “Namanya Arka, Mbak” sambil menggendong Arka dan meninggalkan tempat itu.
Cerita Lucu 1
Arka Bayu Satyajati.
Anak sulungnya adik laki-lakiku ini waktu kecilnya lucuuu sekali. Wajahnya imut-imut pula.
Dulu dipanggilnya Arka. Tapi setelah tumbuh besar, rupanya dia kesulitan menyebut huruf 'R' alias pelat/pelo. Karenanya, di usia 5 tahun, dia minta dipanggil Bayu.
Ini ada beberapa cerita lucu yang melibatkan mas kiyut (cute) yg nggak mau dipanggil 'cute'. Hehehehe...
Cerita ini pernah dimuat di sektor humor majalah Readers Digest Indonesia (lupa, edisi bulan dan tahun berapa).
Sejak memiliki anak, dengan alasan kesehatan, Adi adikku dan Liza istrinya tidak menggunakan obat anti serangga dirumah. Karenanya, diusianya yang sudah hampir 4 tahun, Arka keponakanku jarang melihat berbagai bentuk dan jenis obat anti serangga.
Sampai suatu hari saat Arka mengunjungi kami, dia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya di salah satu kamar tidur. “Ini apa, Budhe?”
“Itu obat nyamuk.”
Sejenak Arka terdiam, lalu mengatakan, “Ooooh… kalo nyamuknya sakit, dikasih obat ini ya, Budhe?”
Minggu, 08 Februari 2015
Tips Sehari-hari: Kulit kaki pecah-pecah
Kulit telapak kaki pecah2? Coba resep saya ini.
Sebelum tidur, oleskan kulit telapak kaki yg pecah2 itu dg krim atau lotion (saya pernah pakai V*va Skin Food, atau N*vea cream, mana yg tersedia aja), lalu pakai kaos kaki sampai bangun tidur.
Setelah 7-9 hari, hasilnya langsung terlihat, kulit telapak kaki jadi mulus kembali.
Selamat mencoba!
PS: Boleh juga pakai krim khusus untuk kulit kaki yg pecah2, tapi harganya lebih mahal daripada krim2 yg saya pakai itu.
Buat apa bayar mahal2, kalo yg lebih murah saja sudah manjur?
Kalau saya boleh saran, coba saja pakai resep yg murah dulu. Kalo nggak berhasil, baru coba yg mahal ;-)
PS:
Re-post dari facebook tanggal 20 Maret 2012
Re-post dari facebook tanggal 20 Maret 2012
Tips Sehari-hari: Batuk
Teman2 ada yg sakit batuk? Sudah ke dokter dan minum obat tapi belum sembuh?
Coba resepku ini deh.
Aku juga dikasih resepnya oleh teman VW Balikpapan (Pak Gunawan, matur nuwun resepnya ya... Manjur, lho)
Ini resepnya:
Ambil 4-5 butir jeruk nipis, peras airnya, taruh dalam mangkok kecil.
Tambahkan madu secukupnya (sekitar 3 sdm). Aduk rata, lalu ditim atau dikukus.
Setelah matang, diminum 1 sdm selagi hangat, sisanya disimpan untuk berikutnya, bisa dihaangatkan kembali.
Minum ramuan itu 3 x 1 sdm dalam sehari.
Resep itu bisa untuk 2-3 hari. Kalau sudah habis, bikin lagi.
Pengalamanku, ramuan pertama bisa untuk 8x minum. Ramuan kedua, baru kuminum 2x, aku sudah sembuh dari gejala2 radang tenggorokan, Alhamdulillah...
Silakan dicoba, semoga sama manjurnya. Aamiiin
PS:
Re-post dari facebook 21 Maret 2012
Papi Pulang Perang
Almarhum Papi mertuaku, Brigjen Inf. Drs. H. Maulana Achmad Soediono Soerjantoro.
Pernah menjadi Komandan Batalyon 512 di Rampal, Malang. Lalu turut menjadi bagian dari Pasukan Garuda 1 ke Gurun Sinai.Setelah ditarik ke Jakarta, pernah menjadi Kapus Hansip/Hanra.
Ada cerita unik sehubungan dg kepergian Papi ke Gurun Sinai. Karena sudah dekat, Papi memutuskan sekalian menunaikan ibadah haji.
Jaman tahun 1950-1960an begitu (mas Harry, suamiku, belum lahir), berangkat haji itu ibarat berangkat perang karena beratnya perjalanan ke tanah suci Mekkah.
Nah, berarti Papi benar sebenar2nya berangkat "perang".
Pernah menjadi Komandan Batalyon 512 di Rampal, Malang. Lalu turut menjadi bagian dari Pasukan Garuda 1 ke Gurun Sinai.Setelah ditarik ke Jakarta, pernah menjadi Kapus Hansip/Hanra.
Ada cerita unik sehubungan dg kepergian Papi ke Gurun Sinai. Karena sudah dekat, Papi memutuskan sekalian menunaikan ibadah haji.
Jaman tahun 1950-1960an begitu (mas Harry, suamiku, belum lahir), berangkat haji itu ibarat berangkat perang karena beratnya perjalanan ke tanah suci Mekkah.
Nah, berarti Papi benar sebenar2nya berangkat "perang".
Layaknya orang yg baru pulang "perang" dg selamat, kepulangan Papi ke Indonesia disambut keluarga dan kerabat (tetangga) dg sukacita. Mereka berkumpul bersama dirumah untuk mendengarkan cerita dan pengalaman Papi selama bertugas dan berhaji.
Papi juga membawa kamera Leica dan tripodnya, yg pada masa itu merupakan barang mewah dan langka.
Untuk mengenang saat itu, semua ingin mengabadikannya dalam foto.
Papi dan Mami duduk di tengah, dikelilingi putra-putri, adik2, tetangga dan kerabat, sementara pak Mbong (salah seorang adik Papi) mempersiapkan kameranya.
Sambil mencari titik focus dan menyiapkan timer, pak Mbong berulang2 mengatakan, "Siap-siap, ya... Awas... Ati2 jangan gerak2... Siap-siap.... satu, dua..." terus pak Mbong mencet shutter utk memulai hitungan mundur timernya, lalu lari untuk mencari posisi.
Melihat pak Mbong lari, sontak tetangga2, yg adalah orang2 dari kota kecil, ikut melarikan diri... bubar jalan, sodara2...
Pak Mbong tanya, "Lho... kok pada lari????"
Kata mereka, "Lha, panjenengan bilang ati2, awas... Terus panjenenngan lari, kami pikir ada yg mau meledak. Jadi, kami ya ikut lari..."
HAHAHAHAHAHAHA....
Kebayang, gak sih...???
Itu foto isinya adalah Papi-Mami, putra-putri dan adik2 yg bengong melihat tetangga2 pada berlarian....
Hahahahahaha.
Masih aja ketawa kalo ingat cerita ini...
PS:
Cerita ini sudah aku post di facebook-ku tanggal 30 Maret 2014
Basa-Basi
Idul Fitri tahun ini diwarnai dg isu pertanyaan basi-basi,
“Kapan nikah” (untuk yg belum menikah), atau pertanyaan “Kapan punya anak”
(untuk yg sudah menikah tapi belum punya anak). Bahkan sampai dg pertanyaan
“Kapan si kakak punya adek” (buat yg baru punya anak 1 orang). Entah apa
alasannya orang menanyakan hal itu. Bisa jadi karena memang peduli, atau
sekedar basa-basi, atau entah alasan lainnya. Yah, anggap saja, itu pertanyaan
basa-basi, sekedar ice breaker dalam percakapan tapi yg jayus alias garing.
Kalau pertanyaan2 diatas tadi dianggap basa-basi yg bikin
hati galau atau sebel, maka ada lagi 1 jenis basa-basi, tapi yg ini bikin orang
(paling tidak, aku) bingung. Basa-basi bilang enggak mau, padahal mau.
Teman-teman bingung gak kalo ketemu dg situasi seperti itu? Ada 1 kejadian yg
baru aja aku alami sehubungan dg basa-basi bikin bingung ini.
Hari Minggu sore kemarin, kami berdua mampir kerumah Mami.
Niatnya cuma sebentar aja, sekedar mau nganter kaastengel buat Mami. Tapi
ternyata Mami lagi kedatangan tamu, anak dari kakak sepupunya. Jadi lah kami
tertahan untuk menemani dan ngobrol dg Mas A dan Mbak A. Sampai tiba saatnya
shalat Maghrib.
Selesai shalat Maghrib, belum ada tanda2 sang tamu akan
pulang. Maka aku (mewakili Mami sebagai tuan rumah) sepantasnya menawarkan mereka
untuk turut kami makan malam. Tamu berdua itu mengatakan, “Oh, ndak usah.
Terima kasih.”
Kupikir, mungkin mereka akan segera pulang karena ada acara
makan2 di tempat lain. Jadi aku ya ndak maksa. Tapi karena kupikir aku dan mas
Harry akan lama disana (menemani mereka), jadi aku tetap utusan pembantu utk
beli lauk ke rumah makan dekat rumah. Paling tidak lauk itu buat Mami, mas
Harry dan aku.
Setelah lauknya datang dan diwadahi, aku ya ndak menawarkan
pada tamu2 Mami itu. Kan tadi mereka bilang ndak mau? Dan kami teruuus ngobrol
dg sang tamu, Mami ikut mendengarkan dan sesekali menimpali.
Jam 19 lewat… tamu2nya masih bertahan… Jam 20 sudah lewat,
belum ada tanda2 tamunya akan pulang. Sampai jam 21, tamunya kok masih betah
ngobrol ya? Sementara aku sudah laper.
Ah, akhirnya aku putuskan aku akan minta ijin pada mereka
kalo aku mau makan. Laper, bo… Tapi aku tetap menawarkan ke mereka utk ikut
makan. Eh, lha kok ya tamunya mau makan…!!
Disitulah aku baru menyadari, rupanya mereka menjawab “Ndak
mau” waktu awal aku tawari itu hanya sekedar basa-basi khasnya orang Jawa…
Ya ampuuun… mendadak aku merasa ndak enak hati karena sudah
menunda waktu makan mereka (dan kami) selama hampir 3 jam!!!! Aduuuuh… pernah
gak teman-teman mengalami hal yg sama denganku???
Kalo sudah begini, aku jadi suka gemes sama orang Jawa deh.
Eh, maaf ya, aku bukan bermaksud SARA atau sejenisnya. Aku sendiri dari Jawa.
Maksudku, orangtuaku dan nenek moyangku aslinya orang Jawa. Jadi boleh dong aku
mengaku sebagai orang Jawa? Tapi mungkin ke-Jawa-anku sudah mencair (tidak
terlalu kental lagi) karena aku sudah tinggal di Jakarta sejak berusia 3 tahun.
Sejak pindah ke Jakarta itu, Bapak-Ibuku mengajak kami berempat bersaudara
berbahasa Indonesia dirumah. Dan
Bapakku, karena pekerjaannya, sering ditugaskan ke luar negeri. Sedikit banyak,
adalah pemikiran a la orang Barat yg diterapkan dirumah. Misalnya, saat makan
malam, kami sering berbagi cerita.
Kalo denger cerita Mami waktu masih kecil,
jaman Mami masih anak2, di meja makan dilarang saling berbicara. Makanan di
piring orangtua sering bersisa, lalu sisanya itu dibagikan ke anak2nya.
Dianggap membawa berkah karena sudah dibacakan doa oleh orangtua. Iiih… kalo
aku sih, nggak bakalan mau, deh…
Intinya, walaupun keluarga besarku baik dari pihak Bapak
maupun Ibu dari suku Jawa, tapi didikan Jawa dirumah Bapak-Ibuku tidak
se-saklijk didikan Jawa jaman dulu. Soal basa-basi juga sudah berkurang. Kami
diajarkan utk bilang “A” kalau memang maksudnya “A”, atau bilang “B” kalau
memang maunya “B”. Jadi, begitu ketemu orang yg suka basa-basi bilang “A”
padahal maunya “B”, aku suda keder sendiri, jadi orang yg gak peka. Maaf deh,
aku kan bukan orang yg bisa membaca pikiran…
Salah gak sih, kalo aku beranggapan sudah bukan jamannya
lagi untuk berbasa-basi yg bikin bingung itu. Tapi lantas apakah itu termasuk
penghapusan budaya?
Pertanyaannya lagi, apakah berbasa-basi yg begitu itu termasuk budaya (Jawa)? Atau adakah budaya daerah lain yg juga suka berbasa-basi begini?
Jaman sudah modern. Perbedaan waktu per menit sudah bisa
memberi hasil yg berbeda. Masih perlukah kita berbasa-basi yg bikin bingung
begini? Sharing, yuuk….
Cerita ini sudah pernah di-post di facebook-ku tanggal 13 Agustus 2013, saat Mami masih ada
Naik Mobil ke Kampus
Melihat judul note ini, rasanya tidak ada yg istimewa ya? Saat aku, kamu atau dia kuliah, pastilah ada yg cukup beruntung memiliki sehingga bisa menggunakan kendaraan pribadi utk diri sendiri, entah itu sepeda motor atau mobil.
Aku sendiri, termasuk golongan masyarakat kebanyakan yg harus menggunakan transportasi umum utk berangkat dan pulang kuliah. Namun ada 1 hari khusus dimana aku bisa naik mobil sejak dari rumah di Kemanggisan sampai ke kampus di Depok. Yg membuatnya jadi spesial sehingga layak ditulis disini adalah karena dalam perjalanan dari rumah ke kampus hari itu, aku naik 4 mobil yg berbeda. Kok bisa????
Sebelum aku ceritakan lebih lanjut, baiknya aku jelaskan dulu rute per jalanan aku dari rumah sampai ke kampus pada hari2 biasa.
Dari rumah, biasanya aku berjalan kaki sebentar keluar kompleks utk kemudian naik angkot M24 dan turun di Slipi Jaya. Kalau kebetulan angkotnya penuh, sementara aku dikejar waktu, bisa saja aku berjalan kaki sampai Slipi Jaya.
Di Slipi Jaya, aku menyeberangi jembatan penyebrangan, lalu di halte Gelael (sekarang Menara Peninsula), aku naik bus no. 46 jurusan Grogol– Cililitan.
Kalau lagi beruntung, dari rumah aku bisa nunut mobil Bapak, sekalian Bapak berangkat ke kantor, terus turun di seberang Balai Sidang (JCC), baru naik bus 46 ke Pancoran.
Sampai di persimpangan Pancoran, aku turun lalu nyambung naik Metro Mini 640 jurusan Tanah Abang – Pasar Minggu. Nanti di Pasar Minggu,aku melanjutkan perjalanan dg naik Koantas Bima jurusan Pasar Minggu – Depok, turun di halte UI atau Pondok Cina, terus jalan kaki deh sampai kampus Psikologi UI. Itulah ruteku sehari-hari.
Nah, on that particular day, dari rumah aku bisa nunut mobil Bapak lalu turun di halte seberang Balai Sidang. Lagi menunggu bus 46 datang, tiba-tiba ada 1 mobil berhenti di halte. Kupikir, dia juga akan menurunkan penumpang seperti aku turun dari mobil Bapak. Jadi, aku nggak terlalu memperhatikan, sampai ada seseorang memanggil namaku, “Mia!”.
Eh, ternyata, di mobil itu ada tetanggaku, Ami dan kakaknya, Indu. Mereka mau kearah Jatibening, lalu menanyakan aku mau kemana. Aku jawab kalau mau ke Pancoran. Mereka menawariku ikut mobil mereka sampai Pancoran. Wah…lumayan bisa ngirit duit, nih… Aku menerima ajakan mereka dg senang hati.
Sampai di Pancoran, aku turun dan berjalan menuju titik tempat aku biasa menunggu Metro Mini yg akan membawaku ke Pasar Minggu. Seperti biasa, lalu lintas pagi cukup padat. Lagi clingak-clinguk mencari2 Metro Mini, aku mendengar lagi namaku dipanggil seseorang. Eh, ternyata Oom-ku!
Rupanya oom Bambang baru saja mengantar anak2nya, Diffi dan Irni ke sekolah mereka di daerah Tebet. Oom-ku ini rumahnya di Tanjung Barat. Karena akan melewati Pasar Minggu, oom Bambang mengajakku ikut sampai Pasar Minggu. Sekali lagi, aku tidak akan melewatkan kesempatan baik dalam hal mengirit biaya bus… :-)
Sampai di Pasar Minggu, aku turun di titik dimana aku bisa dg enak menghentikan Koantas Bima dan masih bisa dapat tempat duduk. Dan rupanya Allah sedang berbaik hati denganku hari itu. Lagi enak2nya menunggu, mendadak ada sebuah mobil berhenti didepanku. Kulihat wajah di jendela, lho… itu kan Ully dan teh Nita?
Ully adalah temanku sejak masih di SD, SMP, sampai SMA dan kuliah (kami sama2 menuntut ilmu di Fak. Psikologi UI, walau akhirnya aku transfer ke IKIP Jakarta). Teh Nita adalah kakaknya Ully, yg kuliah di Fakultas Ilmu Komputer di UI (teh Nita itu temannya mas Wawan, sejak SD sampai SMA). Rupanya, dalam perjalanan ke kampus, mereka melihatku sedang menunggu bus. Dan seperti yg bisa kalian duga, mereka mengajakku ikut mobil mereka sampai kampus!
Jadi… begitulah ceritaku, di suatu hari itu, tidak dirancang, tidak direncanakan, tidak janjian, tapi aku bisa naik (empat) mobil yg berbeda dari rumah di Kemanggisan, sampai ke kampus di Depok :-D
Sabtu, 07 Februari 2015
What have I done?
Pada suatu hari Kamis, waktu pengajian, pak udztad menceritakan suatu kisah nyata, mengenai seorang tukang becak di Bekasi. Sebut saja namanya pak Amin.
Sebagai seorang tukang becak, bisa dibilang pak Amin ini masuk kategori seorang miskin. Beliau memiliki pekerjaan, tapi untuk makan hari ini, beliau harus bekerja dulu. Besok mau makan apa, ya tergantung bagaimana besok.
Tapi dengan pendapatan yg tidak seberapa, pak Amin tetap ingin bisa bersedekah dan berinfaq. Namun apa yg bisa disedekahkan atau diinfaqkan, wong untuk makan sehari2 saja, belum tentu uang hasil menarik becaknya cukup.
Akhirnya, pak Amin memutuskan untuk bersedekah dan berinfaq sesuai dengan kemampuannya dan profesinya, yaitu menarik becak. Pak Amin memutuskan akan mengantar penumpang ke tempat yg diinginkan secara gratis, pada setiap hari Jumat.
Beliau melakukan hal itu terus menerus, selama tiga tahun. Setiap hari Jumat, setiap penumpang yg naik becaknya, tidak dipungut biaya.
Sampai suatu hari, pak Amin mendapatkan penumpang seorang Bapak yg mau pergi ke pasar. Tarif sewanya biasanya Rp.10.000,-. Saat turun, si penumpang memberikan uang sebesar Rp.100.000,- seraya berkata, "Nggak usah pake kembalian, Pak. Itu untuk Bapak saja."
Tapi karena pak Amin sudah berniat, maka uang sebesar itu ditolaknya sembari memberi tahu bahwa setiap hari Jumat, dia mengikhlaskan uang sewanya sebagai bentuk sedekah dan infaq-nya.
Rupanya si Bapak penumpang itu terpesona, namun juga penasaran. Hari Jumat minggu depannya, beliau naik becak pak Amin lagi. Kali ini, beliau memberi uang sebesar Rp.300.000,-. Sekali lagi, pak Amin menolaknya dg halus.
Kemudian, si bapak penumpang ini minta diantar kerumah pak Amin. Diajaklah penumpang ini melihat tempat tinggalnya, rumah gedek (anyaman bambu) berlantai tanah dg atap potongan2 seng yg bocor bila hujan.
Terharu, Bapak penumpang meminta fotokopi KTP pak Amin. Bingung, tapi pak Amin memberikan apa yg diminta. Ternyata, Bapak penumpang ini membelikan rumah utk keluarga pak Amin.
Subhanallaah...
Sungguh, cerita ini menyentil hati kecilku.
Apa yg sudah aku lakukan selama hidupku ini?
Apakah aku sudah berguna utk orang2 yg ada di sekelilingku?
Sudah seberapa banyak "tabungan"ku utk di akhirat nanti?
Ya Allah, ampuni hamba yg sudah menyia-nyiakan hidup... Hamba sering lupa bersyukur
Sebagai seorang tukang becak, bisa dibilang pak Amin ini masuk kategori seorang miskin. Beliau memiliki pekerjaan, tapi untuk makan hari ini, beliau harus bekerja dulu. Besok mau makan apa, ya tergantung bagaimana besok.
Tapi dengan pendapatan yg tidak seberapa, pak Amin tetap ingin bisa bersedekah dan berinfaq. Namun apa yg bisa disedekahkan atau diinfaqkan, wong untuk makan sehari2 saja, belum tentu uang hasil menarik becaknya cukup.
Akhirnya, pak Amin memutuskan untuk bersedekah dan berinfaq sesuai dengan kemampuannya dan profesinya, yaitu menarik becak. Pak Amin memutuskan akan mengantar penumpang ke tempat yg diinginkan secara gratis, pada setiap hari Jumat.
Beliau melakukan hal itu terus menerus, selama tiga tahun. Setiap hari Jumat, setiap penumpang yg naik becaknya, tidak dipungut biaya.
Sampai suatu hari, pak Amin mendapatkan penumpang seorang Bapak yg mau pergi ke pasar. Tarif sewanya biasanya Rp.10.000,-. Saat turun, si penumpang memberikan uang sebesar Rp.100.000,- seraya berkata, "Nggak usah pake kembalian, Pak. Itu untuk Bapak saja."
Tapi karena pak Amin sudah berniat, maka uang sebesar itu ditolaknya sembari memberi tahu bahwa setiap hari Jumat, dia mengikhlaskan uang sewanya sebagai bentuk sedekah dan infaq-nya.
Rupanya si Bapak penumpang itu terpesona, namun juga penasaran. Hari Jumat minggu depannya, beliau naik becak pak Amin lagi. Kali ini, beliau memberi uang sebesar Rp.300.000,-. Sekali lagi, pak Amin menolaknya dg halus.
Kemudian, si bapak penumpang ini minta diantar kerumah pak Amin. Diajaklah penumpang ini melihat tempat tinggalnya, rumah gedek (anyaman bambu) berlantai tanah dg atap potongan2 seng yg bocor bila hujan.
Terharu, Bapak penumpang meminta fotokopi KTP pak Amin. Bingung, tapi pak Amin memberikan apa yg diminta. Ternyata, Bapak penumpang ini membelikan rumah utk keluarga pak Amin.
Subhanallaah...
Sungguh, cerita ini menyentil hati kecilku.
Apa yg sudah aku lakukan selama hidupku ini?
Apakah aku sudah berguna utk orang2 yg ada di sekelilingku?
Sudah seberapa banyak "tabungan"ku utk di akhirat nanti?
Ya Allah, ampuni hamba yg sudah menyia-nyiakan hidup... Hamba sering lupa bersyukur
Jumat, 06 Februari 2015
Udaka 14
Udaka 14...
Bagi sebagian teman yg belum atau tidak mengenalku secara mendalam, pasti nggak tau, apa maksud sepotong kalimat pendek itu. Tapi bagi mereka yg mengenalku lebih baik dan/atau lebih lama, pasti tau apa artinya...
Selama sekitar 40 tahunan, kesana lah aku berakar...
Yak... Itu adalah alamat rumah orangtuaku. Kami tinggal dirumah yg beralamat di Jl. Udaka No. 14, yg berada di dalam kompleks (dulu) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, atau yg biasa disingkat menjadi P dan K atau PDK sejak tahun 1972-an. Aku ingat, aku mulai masuk SD setelah tinggal dirumah itu. Dan sekarang, 40 tahun kemudian, rumah kami itu dijual... :-(
Aku ingin bisa menulis potongan-potongan hidupku dirumah itu. Tapi bagaimana kita bisa merangkum hidup kita dalam sebuah cerita? How can you sum up a life time? I can only try...
Ingatan pertamaku akan rumah ini adalah terasnya yg besar. Ada 2 tiang besi yg dibagian bawahnya diperkuat dg tembok rendah (buk, Bahasa Jawa). Sore hari, aku sering menghabiskan waktu disana, hanya menggunakan kaus dan celana dalam, berusaha mendapatkan kesejukan... Inget ya, aku masih seusia anak TK, jadi belum kena pasal pornografi ;-)
Dua orang adikku lahir dan besar dirumah ini. Adik perempuanku, Mita, waktu kecilnya sangat aktif. Suka lari dan memanjat. Karenanya, bagian teras rumah yg terbuka terpaksa dipagari oleh Bapak. Pintu depan dan pintu yg menuju ke dapur di belakang juga dipagari, membatasi ruang gerak Mita hanya di sekitar ruang tamu dan ruang keluarga.
Secara bertahap, rumah kami ini bertumbuh, seiring dg bertumbuhnya keluarga kami, baik dari segi jumlah maupun ukuran. Dapur belakang diperluas menjadi ruang keluarga. Garasi yg berada disebelah ruang tamu, diubah menjadi ruang kerja Bapak. Gudang, dan kamar pembantu yg berada di belakang garasi, berubah menjadi ruang makan dan lemari penyimpanan.
Kamar mandi belakang dibongkar dan diperluas, berubah fungsi menjadi dapur besar (almarhumah Ibuku memang senang memasak, jadi dapur besar memang cocok). Kemudian, tanak kosong di sebelah kiri rumah dibangun menjadi garasi, kamar pembantu, tempat cuci baju dan kamar mandi pembantu.
Sementara kamar tidur yg berjumlah 4 buah, dibiarkan apa adanya. Teras yg tadinya ada sepotong berada di depan ruang tamu, akhirnya dibuat memanjang hingga mencapai depan garasi.
Bapak dan Ibu menempati kamar yg berada di depan. Disebelahnya, kamar dibiarkan kosong. Aku dan Mita menempati kamar yg jendelanya menghadap ke belakang. Wawan (dan belakangan Adi, setelah dia lahir), menempati kamar yg satunya lagi.
Ada enaknya juga tidur berbagi kamar dg saudara. Kita tidak akan pernah kesepian karena selalu ada teman. Tapi pada titik tertentu (masa remaja, maksudku), kadang ada juga keinginan utk memiliki kamar sendiri. Karenanya, aku suka merasa kalau rumah kami ini tidak terlampau besar. Nyatanya, aku tidak bisa memiliki kamar sendiri. Sampai menjelang menikah, aku masih berbagi kamar dg Mita (secara teknis, karena saat itu Mita kuliah dan kost di Bandung).
Tapi rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau daripada rumput sendiri... Banyak temanku yg bilang kalau rumahku (kami) itu besar. Aku tetap nggak merasa begitu, sampai aku melihat sendiri rumah mereka. Memang sih, kalo dilihat secara luas, rumah kami memang lebih besar daripada rumah kebanyakan teman2ku. Tapi tetap aja aku gak pernah punya kamar sendiri *teteup...*
Well... rumah Udaka 14...
Terima kasih... Kau sudah menaungi kami sekeluarga selama 40 tahun... As much as I'd like to adventure to new places, you're always known to my heart as "my home"...
PS.
Tulisan ini pertama kubuat sekitar April 2013, saat kami baru saja keluar dari (bekas) rumah kami itu. Tapi aku belum sempat mem-publish-nya disini. Rasanya selaaaalu ada yg kurang...
Sekarang sudah Februari 2015. Hampir 2 tahun sejak rumah kami itu dijual. Bapak pindah ke Karawaci, aku dan mas Harry ke Pulogadung. Sementara "rumah kami" sekarang sudah berubah wujud, menjadi hunian maisonette sebanyak 4 unit.
Yak... rumah kami sekarang menjadi 4 town house yg semuanya sudah laku terjual. Salah satu pembelinya adalah Boyke Alif, teman SD-ku. Kapan2, aku ingin bertamu kesana, mengunjungi "rumah kami" ;-)
Bagi sebagian teman yg belum atau tidak mengenalku secara mendalam, pasti nggak tau, apa maksud sepotong kalimat pendek itu. Tapi bagi mereka yg mengenalku lebih baik dan/atau lebih lama, pasti tau apa artinya...
Selama sekitar 40 tahunan, kesana lah aku berakar...
Yak... Itu adalah alamat rumah orangtuaku. Kami tinggal dirumah yg beralamat di Jl. Udaka No. 14, yg berada di dalam kompleks (dulu) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, atau yg biasa disingkat menjadi P dan K atau PDK sejak tahun 1972-an. Aku ingat, aku mulai masuk SD setelah tinggal dirumah itu. Dan sekarang, 40 tahun kemudian, rumah kami itu dijual... :-(
Aku ingin bisa menulis potongan-potongan hidupku dirumah itu. Tapi bagaimana kita bisa merangkum hidup kita dalam sebuah cerita? How can you sum up a life time? I can only try...
Ingatan pertamaku akan rumah ini adalah terasnya yg besar. Ada 2 tiang besi yg dibagian bawahnya diperkuat dg tembok rendah (buk, Bahasa Jawa). Sore hari, aku sering menghabiskan waktu disana, hanya menggunakan kaus dan celana dalam, berusaha mendapatkan kesejukan... Inget ya, aku masih seusia anak TK, jadi belum kena pasal pornografi ;-)
Dua orang adikku lahir dan besar dirumah ini. Adik perempuanku, Mita, waktu kecilnya sangat aktif. Suka lari dan memanjat. Karenanya, bagian teras rumah yg terbuka terpaksa dipagari oleh Bapak. Pintu depan dan pintu yg menuju ke dapur di belakang juga dipagari, membatasi ruang gerak Mita hanya di sekitar ruang tamu dan ruang keluarga.
Secara bertahap, rumah kami ini bertumbuh, seiring dg bertumbuhnya keluarga kami, baik dari segi jumlah maupun ukuran. Dapur belakang diperluas menjadi ruang keluarga. Garasi yg berada disebelah ruang tamu, diubah menjadi ruang kerja Bapak. Gudang, dan kamar pembantu yg berada di belakang garasi, berubah menjadi ruang makan dan lemari penyimpanan.
Kamar mandi belakang dibongkar dan diperluas, berubah fungsi menjadi dapur besar (almarhumah Ibuku memang senang memasak, jadi dapur besar memang cocok). Kemudian, tanak kosong di sebelah kiri rumah dibangun menjadi garasi, kamar pembantu, tempat cuci baju dan kamar mandi pembantu.
Sementara kamar tidur yg berjumlah 4 buah, dibiarkan apa adanya. Teras yg tadinya ada sepotong berada di depan ruang tamu, akhirnya dibuat memanjang hingga mencapai depan garasi.
Bapak dan Ibu menempati kamar yg berada di depan. Disebelahnya, kamar dibiarkan kosong. Aku dan Mita menempati kamar yg jendelanya menghadap ke belakang. Wawan (dan belakangan Adi, setelah dia lahir), menempati kamar yg satunya lagi.
Ada enaknya juga tidur berbagi kamar dg saudara. Kita tidak akan pernah kesepian karena selalu ada teman. Tapi pada titik tertentu (masa remaja, maksudku), kadang ada juga keinginan utk memiliki kamar sendiri. Karenanya, aku suka merasa kalau rumah kami ini tidak terlampau besar. Nyatanya, aku tidak bisa memiliki kamar sendiri. Sampai menjelang menikah, aku masih berbagi kamar dg Mita (secara teknis, karena saat itu Mita kuliah dan kost di Bandung).
Tapi rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau daripada rumput sendiri... Banyak temanku yg bilang kalau rumahku (kami) itu besar. Aku tetap nggak merasa begitu, sampai aku melihat sendiri rumah mereka. Memang sih, kalo dilihat secara luas, rumah kami memang lebih besar daripada rumah kebanyakan teman2ku. Tapi tetap aja aku gak pernah punya kamar sendiri *teteup...*
Well... rumah Udaka 14...
Terima kasih... Kau sudah menaungi kami sekeluarga selama 40 tahun... As much as I'd like to adventure to new places, you're always known to my heart as "my home"...
PS.
Tulisan ini pertama kubuat sekitar April 2013, saat kami baru saja keluar dari (bekas) rumah kami itu. Tapi aku belum sempat mem-publish-nya disini. Rasanya selaaaalu ada yg kurang...
Sekarang sudah Februari 2015. Hampir 2 tahun sejak rumah kami itu dijual. Bapak pindah ke Karawaci, aku dan mas Harry ke Pulogadung. Sementara "rumah kami" sekarang sudah berubah wujud, menjadi hunian maisonette sebanyak 4 unit.
Yak... rumah kami sekarang menjadi 4 town house yg semuanya sudah laku terjual. Salah satu pembelinya adalah Boyke Alif, teman SD-ku. Kapan2, aku ingin bertamu kesana, mengunjungi "rumah kami" ;-)
Langganan:
Postingan (Atom)