Minggu, 21 Oktober 2012

Makan yuuuk, di Bali...


Copy-paste dari emailku untuk seorang teman yg minta rekomendasi tempat makan di Bali yg Insya Allah halal.

Ini hasil rekapitulasi dari email2 di milis jalansutra (punyanya Bondan Winarno). 
Beberapa anggota milis yg sudah pernah mengunjungi tempat2 makan ini yg ngasih rekomendasi.

Rekomendasi saya sendiri adalah yg no. 10, 11, 13 karena hanya menjual makanan berbahan ikan. Juga no. 14 karena khas Lombok yang mayoritas muslim, jadi pasti halal.

Sayangnya, hampir semua berada agak jauh dari Kuta. Tapi Mak Beng di Sanur dan Be Pasih di Renon bener2 highly recommended.
Kalo ada waktu ekstra, perlu juga diusahain ke Mertha Sari di Klungkung. Apalagi sekarang udah ada by-pass, jadi perjalanan bisa sekitar 30 menit. Dijamin bener2 gak nyesel deh... Tempat makannya sih biasa aja, cenderung ndeso. Tapi makanannya juara!

Dari semua, kami sendiri baru pernah makan di resto2 no. 9 – 14. Yg lainnya belum pernah karena belum ketemu waktu dicari, atau taunya belakangan setelah kami dari Bali.

Yg no. 12 adalah tempat makan termasuk mewah (agak mahal) karena tempatnya eksotis, persis dipinggir danau Kintamani. Ada fasilitas karaoke (bayar lagi), olahraga air, dll. Baiknya telpon dulu untuk tanya ancer2 kesana karena agak nyempil.

1.    Warung Satria (samping supermarket Supernova, dekat Joger), buka jam 07-17
2.    Nasi Pedes Bu Andika (depan supermarket Supernova, dekat Joger), buka jam 16-malam (hati2, kata keponakan saya bener2 peddeeeessss!!!!)
3.    Warung Mina, Jl. Tukad Gangga, Renon (0361-421086). Menu andalan ikan air tawar
4.    Warung Khrisna, Jl. Kutat Lestari No. 4, Sanur Kauh (0361-281661), buka jam 07-15
5.    Warung Jeruk Manis (JerMan) Jl. Puputan 206, Renon (0361-247751), buka jam 07-17
6.    Nasi Campur Ayam Warung Shanti, Banjar Teges Gianyar, buka jam 07-15
7.    Warung Bendega Jl. Jayagiri No. 2A, Renon (0361-249555), buka jam 09-23
8.    Warung Makan Campur-Campur Bu Widya Jl. Sunset Road dekat simpang siur, deretan Cozy Spa (0361-766291), buka jam 08-22
9.    Ayam Kadewatan Bu Mangku . Jl. Tukad Badung 11, Renon, Denpasar (0361-7427166). Pusatnya di Ubud.
  1. Warung Be Pasih Jl. Pemuda III No. 24, Renon Denpasar (0361-7440223), buka jam 09-22. Sate ikan, sup ikan, tum ikan, sambal matah, plecing kangkung
  2. Warung Mertha Sari, Pesinggahan Klungkung (0366-30406). Sate ikan, sup ikan, tum ikan, sambal matah, plecing kangkung
  3. Kintamani, Restoran Kedisan di pinggir danau Batur (0366-51627. 0361-51752), PIC: Dewi – 081338699993. Ikan gurami/mujair/nila bakar, sup ikan, aneka cah sayuran organik, dll
13. Warung Mak Beng, pantai Sanur, dekat Hotel Inna Grand Bali Beach (0361-282633), buka jam 07-15. Ikan laut goreng, sup kepala ikan laut, sup sayur. Museum Le Mayeur sekitar 60 meter dari sini.
14. Rumah Makan Suranadi Jl. Puputan Renon (sebelah Warung Jeruk Manis/JerMan). Makanan khas Mataram/Lombok (ayam taliwang, plecing kangkung, gurame bakar, dll)

Sabtu, 20 Oktober 2012

Naik sepur 1

Aku lahir di Malang, Jawa Timur. Tapi tahun 1972, waktu umurku sekitar 3 tahun, Bapakku mendapat pekerjaan di Jakarta dan kami (Ibu, Wawan dan aku) diboyong semua ke ibukota. Mulailah aku menjadi warga Jakarta. Tapi Eyang dan beberapa Oom dan Tanteku (adik2nya Ibuku), masih tinggal di Malang. Jadilah, hampir setiap saat libur sekolah kami habiskan di kota apel itu. Biasanya kami kesana saat bulan Ramadhan karena pas sekolah diliburkan selama 1 bulan, atau saat libur kenaikan kelas. Dari Jakarta, kami menumpang mobil Bapakku, VW Kombi. Makanya sampe sekarang aku sukaaaa sekali dg mobil berbadan seperti roti tawar itu. Dan dalam perjalanan pulang ke Jakarta, kerap kami mampir ke Yogyakarta, sowan kerumah Pakde-Budeku, kakak2nya Bapak. Menginap barang 2-3 malam, baru kembali kerumah.

Walau kami lebih sering menggunakan moda mobil pribadi saat mudik, tetapi pernah juga beberapa kali kami menggunakan kereta api. Biasanya Mutiara Utara, turun di Surabaya lanjut dg travel ke Malang.

Yg mau aku ceritakan disini adalah pengalamanku pertama kali naik kereta sendiri waktu aku masih di bangku SMP. Ceritanya, aku mau berlebaran dirumah Eyang di Malang. Entah bagaimana, kok aku rencananya akan ke Malang naik kereta bersama Oom Mamat, adik bungsu Ibuku, yg tinggal dg Tanteku di Jl. Kalibata Tengah, Pancoran. Kalo ndak salah, aku menyusul Ibu dan adik2ku yg sudah lebih dulu berangkat ke Malang. Aku lupa, Wawan ada di Malang juga atau tidak. Yg pasti, Bapak masih di Jakarta karena Bapak yg ngantar aku ke stasiun.

Diantar Bapak, aku pergi ke stasiun Kota. Dua buah tiket sudah di tangan, tapi Oomku kok belum datang juga? Setelah berhasil menelepon kerumah Tante, ternyata Oomku mendadak tidak bisa berangkat karena ada urusan pekerjaan. Yaaah... lantas, bagaimana, ini?

Bapakku tanya, kamu berani nggak pergi sendiri? Nanti di Surabaya bisa kan naik kereta atau naik travel ke Malang? Aku jawab, "Bisa. Berani." Habis, daripada nggak jadi berlebaran di Malang...???
Tiket ekstra itu dijual oleh Bapak (harganya nggak dinaikkan, lho. Bapakku kan bukan calo tiket kereta. Hehehehe) pada seorang (yg mengaku) mahasiswa yg juga akan  ke Malang.
*catatan: mulai sekarang, si orang-yg-mengaku-mahasiswa itu akan aku sebut sebagai si mahasiswa*

Jadilah hari itu aku berangkat sendirian ke Malang naik kereta api, for the first time. Awalnya aku dan si mahasiswa diem2an aja. Kagok, bo... Duduk deketan sama cowok dewasa yg gak aku kenal...
Duduk di deret seberang, ada satu keluarga dg 2 anak. Di belakangku juga sekeluarga. Aku jadi merasa sedikit aman, karena tidak dikelilingi oleh orang2 yg menyeramkan atau misterius. *lebay*

Keadaan di gerbong kami, khususnya yg berdekatan dg kursi tempatku duduk tenang2 aja, sampai keesokan harinya. Ketegangan sudah mulai luntur, kami sudah mulai bercakap2. Walau kebanyakan berupa mereka bercakap2, aku hanya menjadi pendengar. Sampai salah seorang diantara mereka tanya, kemana aku mau pergi. Kujawab, "Malang."

"Nanti, dari Surabaya mau naik apa ke Malang?"

Aku sudah memikirkan perihal bagaimana aku akan ke Malang dari Surabaya sepanjang malam. Bus, atau kereta api?

Terminal bus di Malang (waktu itu masih di Klojen) cukup dekat dari rumah Eyang. Aku tau jalannya, jadi bisa naik becak. Tapi masalahnya, di Surabaya, terminal bus-nya (masih di Wonokromo) jauh dari stasiun Pasar Turi, tujuan akhir keretaku. Aku masih harus naik kendaraan umum dari stasiun Pasar Turi ke terminal Wonokromo. Ini yg aku nggak tau. Repot kan? Jauh2 dari Jakarta mau ke Malang, masak nyasarnya di Surabaya? Nggak lucu banget kan?

Sementara naik kereta dari Surabaya ke Malang, rasanya menjadi alternatif yg paling baik. Di Surabaya aku nggak perlu kemana2 utk meneruskan perjalananku ke Malang. Cukup beli tiket di loket, terus nunggu keretanya datang. Begitu sampai di stasiun Malang, naik becak juga ke rumah Eyangku.

*catatan: rumah Eyangku dulu di Jl. Hamid Rusdi, Malang ternyata sangat strategis ya? Dekat dg terminal bus antar kota dan stasiun*

Jad, begitu aku ditanya oleh Ibu yg duduk di seberangku, aku mantap menjawab, "Naik kereta api."

Bapak yg duduk di belakangku nimbrung pembicaraan dg menceritakan pengalamannya naik kereta dari Surabaya ke Malang tahun lalu di waktu dekat2 Lebaran seperti saat ini. Katanya, keretanya penuuuuh sekali, beliau sampai harus berdiri. Tidak hanya sekedar berdiri, tapi berdirnya benar2 sempit-sampai-beliau-nggak-bisa-bergerak. Buruknya lagi, jempol kaki si Bapak terinjak oleh orang lain sampe membiru, kukunya lepas dan sampai setahun kemudian (hari itu), kukunya belum tumbuh sempurna...

Haiyyyyaaaaa... Ketakutan dong, aku... Secara, aku cewek manis yg banyak ditaksir cowok *Ge-eR lebih baik daripada minder* apa jadinya kalo nggak punya kuku jempol kaki? Waaah... menurunkan pasaran banget, kan...??? Hehehehe...

Cerita si Bapak membuatku berpikir lagi. Waduh... gimana, ini ya...??? Jadi baiknya aku naik apa?
Kalo aku mengakui aku nggak tau jalan menuju terminal Wonokromo, aku khawatir akan menjadi korban dari orang2 yg ada di sekeliling aku saat itu, yg punya niat nggak bener. Tanpa aku sadari, ternyata si mahasiswa yg membeli tiket dari Bapak juga sibuk berpikir alternatif jalan menuju Malang.

Belum lama aku berpikir, aku mendengar si mahasiswa teriak, "Lho... Kok kereta ini lewat Wonokromo??" Aku tersadar dari pikiranku yg melayang2, dan melihat ke jendela. Eh iya. Kereta ini berhenti di stasiun Wonokromo, yg berada tepat di seberang terminal bus Wonokromo. Setahuku, biasanya hanya kereta Bima (yg lewat jalur Selatan) yg melewati rute dan berhenti disini.

In a split second, aku dan si mahasiswa memutuskan untuk turun di stasiun ini. Berdua (mendadak aku jadi berasa seperti adiknya si mahasiswa ini, bo... Hehehe) kami keluar stasiun menuju terminal bus. Kalau jalan kaki lumayan jauh, jadi kami berdua naik 1 becak. Doi yg bayar :-)
Sampai terminal kami segera mencari bus ke Malang yg masih kosong. Alhamdulillah, kami bisa segera naik bus dan duduk di deretan paling belakang, aku duduk deket jendela. Untung, koper kecil dan tasku nggak ketinggalan... Hehehehe. Enaknya lagi, si mahasiswa itu mbayarin ongkos busku! Lumayaaan...

Tapi, walau merasa jadi adiknya si mahasiswa, tetep aja aku nggak berani tidur selama perjalanan dari Surabaya ke Malang. Masih ada sisa rasa khawatir yg cukup besar terhadap si mahasiswa itu. Haaaa... daku ternyata parno, ya.... Hahahaha... Aku takut lah kalo aku tinggal tidur, nanti koper dan tasku dibawa lari oleh si mahasiswa itu. Norak banget ya? Hehehehe.

Ternyata, kekhawatiranku sungguh nggak beralasan. Si mahasiswa turun di daerah seputaran Blimbing dg membawa hanya tasnya sendiri, koper dan tasku aman ;-)

Singkat cerita, aku tiba di terminal Klojen, menawar dan naik becak kerumah Eyangku di Jl. Hamid Rusdi. Sampai dirumah Eyang, kedatanganku menjadi kejutan buat Eyang, Ibu, dan tante-oomku disana. "Mana Oom Bambang?"

Lho??? Yg rencananya berangkat bareng dg aku ke Malang kan Oom Mamat. Kenapa yg ditanya kok malah Oom Bambang??
*sorry... aku lupa cerita... Ibuku itu anak sulung dari 13 bersaudara (banyak, ya??). Oom Mamat adalah yg bungsu. Nah, Oom Bambang ini adik Ibuku yg nomor 12. Waktu itu, beliau lagi kuliah di ITS dan tinggal dirumah Tanteku, adiknya Ibu yg nomor 2. Selamat bingung ;-)*

Ternyata, oh ternyata... Bapakku menelepon Ibuku di Malang, memberi tahu kalo akhirnya aku berangkat sendiri ke Malang. Karena khawatir dg anaknya yg cantik ini *sekali lagi, Ge-eR lebih baik daripada minder :-p*, Ibuku minta tolong pada Oom Bambang yg memang tinggal di Surabaya, utk menemui aku di stasiun Pasar Turi dan ngantar aku ke Malang, entah naik sepeda motor (keciiiil kemungkinannya, sih), atau naik travel. Pokoknya, dijemput di stasiun, terus bareng ke Malang.

Pantesan aja mereka yg ada di Malang kaget waktu aku nyampe rumah Eyang, sendirian, naik becak pula (walau sudah pasti mereka nggak akan menyangka aku naik becak dari Surabaya, sih...).

Yg kasihan, ya Oom Bambang... Entah berapa lama Oomku itu bertahan nunggu di Pasar Turi, nyari2 ponakannya yg satu ini. Jangan2, Oomku itu sempat berpikir, kalo ponakannya yg manis dan baik hati ini diculik orang... Hehehehehe...

Jumat, 19 Oktober 2012

City Explorer

City Explorer

Tahun 1988, saat masih kuliah tahun kedua, aku berpartisipasi menjadi peserta Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia. Program yg berdurasi sekitar 4 bulan ini diikuti oleh 16 pemuda-pemudi dari 13 propinsi di Indonesia. Yg laki-laki dari Sumatera Barat, Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Sementara yg perempuan dari Lampung, Jakarta (3 orang), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara. Sebelum kami berangkat ke Australia, kami semua dikumpulkan di Cibubur selama hampir 2 minggu utk mengikuti training persiapannya (PDT = Pre-Departure Training).

Materi training diberikan antara lain oleh pihak Depdikbud (sekarang Diknas, tapi sudah 4 tahun ini dipegang oleh Kemenpora), pihak Deplu, Kedutaan Besar Australia utk Indonesia, dan pihak lain, diantaranya para alumni.

Materi oleh alumni ini kebanyakan berupa latihan kesenian dan sharing pengalaman mengikuti program. Cukup banyak yg harus kami pelajari, misalnya bagaimana nanti saat kami tinggal di keluarga angkat, atau bagaimana nanti kami di tempat kerja (work placement). Selain itu, juga bagaimana kami harus bisa mandiri menggunakan fasilitas umum, yg di Indonesia mungkin (pastinya) belum semaju di Australia. 

Contoh kecil, naik bus kota. Di Indonesia, khususnya di Jakarta (karena aku mewakili Jakarta) bus kota banyak yg rutenya tumpang tindih, baik dg sesama bus kota, maupun dg jenis angkutan lain seperti angkot, Metro Mini, Kopaja, dll. Sudah begitu, tidak ada jadwal yg pasti. Nah, di Australia, rute bus kota hanya sedikit yg tumpang tindih, bus tidak berhenti di setiap halte, dan jadwalnya bisa diandalkan hingga ke hitungan menit! Buat kami2, hal itu bisa menjadi masalah kalau tidak diperkenalkan sejak dini, kan?

Hal lain yg juga perlu dipersiapkan sejak dari Indonesia, adalah kemampuan kami utk menggunakan fasilitas umum sebaik-baiknya, termasuk telepon umum.
Yak... Telepon umum!

Harap diingat, ini kita bicara tahun 1988, ya... Masa dimana jaringan komunikasi belum secanggih sekarang. Jangankan laptop atau tablet, personal computer saja masih jarang. Itupun masih menggunakan sistem DOS. Jangan sebut2 blackberry atau iPhone, telepon umum kartu (bukan koin) saja mungkin masih jarang ada di daerah.

So, bisa dibilang, kami ini 16 pemuda-pemudi kuper dan kamso... Kurang pergaulan, kampungan dan ndeso (ada yg bilang, kamso = come from deso). Hehehehe...

Nah... salah satu materi training yg diisi oleh alumni adalah city exploration. Kami peserta dipasangkan laki-laki & perempuan, lalu tiap pasangan diberi satu tempat yg harus dituju. Bisa berupa tempat wisata, pertokoan atau tempat perbelanjaan, diskotik, dll. Dari Cibubur, kami harus menggunakan fasilitas transportasi umum utk menuju ke tempat yg ditunjuk. Dari tempat itu, kami harus menghubungi alumni di nomor telepon yg ditentukan utk mendapatkan instruksi selanjutnya.

Tujuan dari kegiatan ini adalah diharapkan kami berani bertanya, dan bisa mencapai suuatu tempat di daerah yg tidak kita kenal dg baik. Utk kegiatan ini, aku dipasangkan dg Alfred Audi Kirihio, peserta dari Papua. Tempat yg harus kami tuju adalah pusat perbelanjaan grosir Mangga Dua. Mind you once again, this is the year of 1988, jaman kuda masih gigit besi. Pasar Pagi di Asemka baru saja dipindahkan ke Mangga Dua, dan belum semuanya beroperasi. Aku yg tinggal di Jakarta sejak berumur 3 tahun aja belom pernah nyampe ke Pasar Pagi, apalagi ke Mangga Dua. Apalagi si Alfred, kan? So you may say that it's all up to me.

Kami boleh saja menggunakan taxi, kalau mau gampang. Tapi sayang duitnya,  kan? Hampir semua dari kami masih berstatus mahasiswa yg keuangannya serba terbatas. Mending duitnya disimpan buat ditukar ke dolar Australia dan buat beli oleh2, kan? ;-)

So... Singkat cerita, aku dan Alfred naik angkot dari Cibubur ke terminal Kampung Rambutan. Dari sana, kami nanya2 ke petugas, bus mana yg harus kami ambil kalau kami mau ke Mangga Dua. Mereka bilang, naik bus yg ke Senen. Naik lah kami ke bus yg ke Senen itu. Dari Senen, kami nanya2 lagi, sampe akhirnya kami nyampe di Mangga Dua. Sengaja aku nggak milih2 jenis moda transportasinya, pokoknya asal nyampe aja dulu ke tujuan.

Sampai di Mangga Dua, kami mencari2 telepon umum dan menghubungi alumni. Kami diminta mencari satu bioskop yg ada disana, mencatat film apa yg diputar disana, jam berapa mainnya, dan berapa harga tiketnya. Setelah dapat informasi itu, kami menghubungi lagi panitia menggunakan telepon umum. Sekali lagi kami diminta utk membawa bukti, kali ini tertulis, bahwa kami benar sudah sampai di tujuan. Bisa berupa bon pembelian, atau sobekan karcis parkir, atau apa saja pokoknya ada tulisan "Mangga Dua"nya.

Setelah mendapatkan bukti itu, kami diminta utk berkumpul dg teman2 lain di satu bakery di mall besar di daerah Blok M. Setelah 16 orang terkumpul semua, baru lah kami kembali bersama2 ke Cibubur.

Nah, disini ceritanya mulai menarik... Menarik buat si Alfred, dan menarik buat kuceritakan :-)

Karena sudah tidak ada target yg harus diselesaikan, mulai lah otakku berputar... Ingin juga aku memperkenalkan aneka moda transportasi umum di Jakarta sebanyak2nya pada Alfred. Sejak dia baru datang dari Papua, dia sudah pernah menggunakan taksi dan bajaj. Jadi, dua moda itu aku tidak pilih.

Dari stasiun Kota, aku ingat ada bus tingkat ke Blok M (ingat, ini tahun 1988, masih ada bus tingkat di Jakarta). Terpikir olehku, utk naik bus tingkat ke Blok M. Dari Mangga Dua menuju stasiun Kota, kami naik bemo. Sepanjang perjalanan dari Mangga Dua ke stasiun Kota yg tidak jauh itu, Alfred bolak-balik tertawa geli, karena lutut kami bersentuhan didalam bemo.

Sesampainya di stasiun Kota, mendadak aku ingat kalau dari Senen, ada juga bus tingkat ke Blok M. Sekarang, tinggal mencari moda transportasi dari Kota ke Senen.
Wah, bisa naik KRL (kereta rel listrik) ke Gambir nih, lalu naik bus dari Gambir ke Senen. Masuk lah kami ke stasiun Kota. Kalau boleh dan tidak malu, kurasa Alfred mau saja lompat2 kegirangan karena mau naik kereta api for the first time in his life!!!

Aduh Fred, ini kereta ekonomi, nggak ada enak2nya... Tapi tetep aja, ini adalah pengalaman pertama buat Alfred. So, mulailah ia minta difoto didalam kereta! Well... I don't see any harm doing that. Malu? Iya, sih. Tapi belum tentu juga besok2 aku ketemu lagi sama orang2 yg ada disana saat itu, kan? Hehehehe.
Waktu turun di Gambir pun, Alfred minta difoto di luar gerbong kereta.

Cerita kupersingkat sampai di Senen. Kami khusus menunggu bus tingkat yg masih kosong, supaya bisa memilih duduk diatas. Memang rezekinya si Alfred. Nggak lama kami menunggu, datang lah bus yg kami inginkan. Langsung kami menuju lantai atas, kursi paling depan. Sekali lagi, Alfred berfoto2... Hahahaha...

Sesampainya kami di Blok M, sudah beberapa teman tiba disana. Ada yg baru dari Ancol, ada yg dari diskotik Earthquake di Monas, dll. Tapi Alfred yg senyumnya paling lebar dan punya cerita paling banyak, karena menggunakan beraneka moda transportasi umum di Jakarta.

Later on di Australia, kami berkesempatan naik kereta kelas eksekutif dari Townsville ke Brisbane, 26 jam perjalanan menggunakan kereta di gerbong tidur. Kereta ini jauuuuh lebih enak dari bahkan kereta terbagus di Indonesia. Tapi pengalaman pertama naik kereta (walau cuma KRL) di Jakarta, pasti rasanya lebih manis daripada naik kereta ini. Bukan begitu, Alfred? ;-)

Those memories will always be with me, for the rest of my life. Those experience was just as memorable for you as for me... And it's just between you and me, mate ;-)


Selasa, 16 Oktober 2012

SIM... Simulator

SIM… Simulator

Tanggal 20 September kemarin warga Jakarta melakukan pilkada. Heboh kumis dan kotak2. Aku malah bingung karena baru sadar kalo SIM-ku sudah habis masa berlakunya tgl. 18 September 2012, padahal tgl. 20 sore itu aku dan mas Harry akan berangkat ke Semarang! Dan repotnya, karena aku memegang SIM B-1, maka perpanjangan harus dilakukan di kantor Samsat Kali Deres, nggak bisa dilakukan di gerai Samsat yg ada di mall-mall, atau di Samling (Samsat Keliling). Alhasil, dg diantar seorang supir, setelah nyoblos, aku pergi ke Samsat Kalideres.

Alhamdulillah, jalanan lancaaar. Mungkin karena pilkada dan beberapa kantor diliburkan. Jam 9 lewat aku sampe di tempat tujuan. Setelah tanya2, teng jam 10 aku memulai proses perpanjangan SIM dg langkah pertama, yaitu tes kesehatan.

Ruang tes kesehatan terpisah dari bangunan induk. Aku harus nyebrang lapangan parkir motor. Kupikir, tes kesehatannya berupa tes anti buta warna. Ternyata, aku harus membaca deretan angka mulai dari ukuran besar sampe kecil layaknya kita periksa mata di dokter mata. Sebelum melakukan tes yg hanya memakan waktu sekitar 2 menit per orang ini, aku harus membayar Rp.25.000,-

Dari ruang tes mata, langkah selanjutnya adalah mengisi formulir perpanjangan SIM, lalu mengantri untuk simulasi. Itu lho, alat yg saat ini menjadi sumber keributan antara KPK dg Polri... 
Nggak lama menunggu, namaku dipanggil, bersama dg 5 nama lain. Ternyata, utk tes ini, 6 orang sekaligus bergiliran di 1 mesin simulator, aku dapat giliran nomor 4. Aku menjadi satu2nya perempuan disini. Sepertinya, memang jarang ada perempuan punya SIM B-1, ya... Lumayan, jadi primadona... Hehehehe.

Terus terang, aku penasaran banget, kayak apa sih simulasi yg jadi buah bibir ini?
Bentuknya mirip mock-up dashboard bus/truk kecil, lengkap dg setir, pedal gas, pedal rem dan kopling serta tongkat persneling. Ada seorang petugas laki-laki yg akan ngetes.

Ada 2 tahapan tes yg harus kami lakukan. Kalau lolos tes tahap pertama, akan lanjut ke tahap berikutnya. Kalau tidak lolos di tes pertama, kami harus mengulang tes itu minggu depan! Alamaaak... Mendadak aku deg-degan... Bagaimana kalau aku nggak lolos??? Alamat pergi ke Jawa Tengah nggak bawa SIM, nih... Apalagi, belakangan aku tau kalau tes hari itu adalah tes percobaan kedua bagi orang pertama, dan tes percobaan ketiga utk orang kedua dan ketiga, karena mereka tidak lolos di tes2 itu minggu2 sebelumnya! Sementara aku, baru sekali ini akan mencoba peruntunganku... Duh Gusti... bantulah aku...

Si petugas yg akan ngetes menjelaskan tata cara tesnya. Didepan dashboard itu ada 3 layar komputer yg digantung berjejer rapat. Tes pertama. Di layar tengah ada gambar lingkaran sebesar setir dg tonggak2 hitam berserakan, dan ada 2 titik merah di kiri dan kanan lingkaran. Nah, lingkaran dg tonggak2 hitam itu akan berputar perlahan selama 1 menit. Tugas kami, peserta uji, adalah membelokkan titik merah dg menggerakkan setir ke kiri dan kanan TANPA menyentuh tonggak2 hitam itu. Kalau nyenggol, artinya kita 'nabrak'. Nah, kalo kita nabrak, gagal lah kita... :-(

Tapi untungnya, kita masih diberi kelonggaran. Kita dianggap lolos kalau nabrak maksimal 4x. Diatas 4x, kita harus mengulang tes itu minggu depan. Kalau nabrak 5x, kita masih diberi 1x kesempatan hari itu juga utk mengulang. Tapi kalau lebih dari 5x, good bye and see you next week...

Pendek kata, Alhamdulillah aku lulus di percobaan pertama ini! Alhamdulillaah...
Berikutnya, tes kedua. Tes ini sedikit lebih mudah. Lebih mudah, tapi bukan berarti gampang, lho ya ;-)

Dua layar komputer digunakan. 
Ada gambar terowongan dg 1 buah mobil boks putih. Si mobil boks akan berjalan memasuki terowongan dg kecepatan tertentu. Kita harus memperkirakan kapan mobil boks akan keluar dari terowongan. Dg menggerakkan tuas lampu besar, kita menghentikan si mobil boks itu. Kita dianggap lulus kalau kita menghentikan mobil boks itu persiiiis di mulut terowongan, plus-minus 20%. 

Kalau berhenti persis di mulut terowongan, nilai kita 100%. Kalau berhentinya di garis 80% atau 120%, kita masih dianggap lolos. Kita diberi kesempatan sebanyak 10x dg kecepatan truk yg berbeda-beda, ada yg 20 km/jam sampai 100 km/jam. Alhamdulillah, disini aku juga lulus!!!

Formulir yg tadi kubawa, diisi oleh petugas penguji, lalu harus kubawa ke loket simulasi. Disini aku harus membayar Rp.50.000,-.
Dari loket ini, aku diminta menuju ke loket Bank BRI utk melakukan pembayaran biaya perpanjangan SIM. Utk SIM B1, biayanya Rp.80.000,- (eh, apa Rp.85.000,- ya? Lupa... :-))

Dari BRI, aku kembali ke loket simulator utk mengambil sertifikat kelulusan (yeaaay!!!) dan formulir yg tadi itu, terus ke loket asuransi. Di loket ini, kita "dipaksa" beli polis asuransi sebesar Rp.30.000,-
Well, walau "dipaksa", tapi gak papa lah... Nggak ruginya juga kan, punya asuransi dg polis murah?

Di Loket ini, setelah membayar preminya, kita diminta mengisi satu formulir lagi, lalu formulir itu dibawa ke bagian arsip di lantai 2. Disini, formulirku hanya dicap-cap. Dan waktu aku ambil, petugas yg berada di belakang kaca mengatakan, "Data Ibu harusnya masuk ke belakang, tapi ini saya percepat aja, nggak usah ke belakang."

Terus terang, aku nggak ngerti kenapa juga si pak polisi itu ngomong begitu? Aku cuma bilang terima kasih, terus ngeloyor pergi ke loket 20 dibawah, seperti petugas tadi bilang. Eh, apa itu sebenarnya kode, kalo dia minta duit ya? Ah, tauk ah, gelap... Hehehehe... 

Di loket 20, aku menyerahkan formulirku yg sudah dicap di bagian arsip, lalu diminta menunggu. Agak lama aku menunggu, hampir sekitar 20 menit.

Setelah menunggu agak lama, namaku dipanggil. Di loket ini, aku diminta membayar Rp.20.000,- walau disana tidak ada tulisan apa-apa soal biaya, tidak seperti di tempat tes kesehatan, simulasi dan loket pembayaran di BRI yg jelas memasang tulisan besarnya biaya yg harus dibayar. Hmm... pungutan liar kah? Wallahu alam...

Setelah membayar biaya 'siluman' sebesar Rp.20.000,- aku diarahkan utk ngantri ke loket 26. WOW... dari sekian banyak loket pengambilan gambar/foto ID dan tanda tangan, loket 26 ini yg antriannya paaaaaling panjaaaang... Kenapa juga aku diarahkan ke loket ini, ya? Dan di belakangku, masih aja nambah banyak orang yg juga ngantri, sementara loket2 lain kosong, atau malah nggak ada antrian padahal jelas buka, ada petugasnya di dalam.

Ah, sudahlah... Pasti ada alasannya petugas di loket 20 minta aku ke loket 26 kan? Mungkin, dia lagi sebel sama petugas di loket 26, makanya dikasih banyak kerjaan...??? Hehehehe. Wallahu ‘alam…

Ngantri disini lumayan lama, karena antriannya kok nggak bergerak??? Ternyata, denger2 kabar, kalau komputernya lagi hang... :-(
Hadooooh... hare geneeee??? Komputer pelayanan masyarakat masih nge-hang???
Buat ngilangin bete, aku mulai ngobrol2 dg sesama pengantri. Lumayan, ada 1 brondong ganteng di belakangku... Hehehehe... It's not that bad, after all... ;-)

Singkat kata... Setelah mengantri sambil berdiri selama 25 menit, akhirnya aku masuk juga kedalam loket 26. Ealah... jebule masih ngantri lagi didalam... 
Yah, tapi paling tidak, ngantri di dalam sambil duduk lah. Jadi nggak terlalu capek.

Urutan pertama disini adalah kita diminta utk ngecek data2 yg ada di layar komputer. Kali aja ada kesalahan penulisan nomor rumah, atau yg lainnya. Setelah semua beres, kita diminta tanda tangan di layar sentuh kecil di meja, terus berpose deh buat difoto :-)
Dan, selesai!

Aku kemudian diarahkan utk menunggu di loket 35. Ternyata itu loket pengambilan SIM-nya. Baru aja duduk selama 10 detik, namaku udah dipanggil, yg berarti SIM-ku sudah selesai!!!
Ohya, disini, aku kembali dimintai duit sebesar Rp.5.000,- yg gak jelas peruntukannya.

Kulirik arloji di tangan kiri, jam menunjukkan waktu pk. 13.00. Total biaya yg aku keluarkan sebesar Rp.215.000,-
Hmm.... Tiga jam utk mengurus perpanjangan SIM B1 tanpa calo, tanpa nyogok (??). Not bad... not bad at all...

Keep up the good work, pak polisi...

Btw, sempat terpikir olehku untuk merubah SIM-ku menjadi SIM A saja, supaya mudah mengurus perpanjangannya. Bisa di gerai Samsat yg ada di mall-mall yg tersebar di banyak wilayah di Jakarta (another excuse to visit the mall, eh? Hehehehe), atau di Samling (Samsat Keliling). Tapi kok ya sayang, ya... Hehehe... Kan 'gaya', gitu lho... pake SIM B1... :-)


Es gempol pleret, siapa yg punya?

Seumur hidup, saya baru mendengar nama minuman ini waktu sedang mempersiapkan diri berkunjung ke Karimunjawa bulan Mei 2012 yg lalu. Aku sedang mengumpulkan sebanyak mungkin informasi mengenai kota Jepara, tempat kami akan memulai petualangan ke Karimunjawa. 

Rencananya, sebelum ke atau sesudah dari Karimunjawa, kami akan bermalam di Jepara. Mumpung sudah sampai disana, sayang aja kalo nggak sekalian menjelajah kotanya, kan?


Selain bertanya pada Tante Google, aku juga bertanya pada teman2 di komunitas penyuka jalan2 di facebook. Disana, aku berkenalan dg salah seorang anggotanya yg kebetulan adalah orang Jepara asli tetapi sedang menuntut ilmu di Bandung.


Dari teman baruku ini, Shesar namanya, aku diberi tau beberapa makanan atau minuman khas Jepara yg patut dicoba. Salah satunya adalah es gempol pleret. Penasaran, waktu di Jepara aku menyempatkan diri mencari es jenis ini...


Alhamdulillah, kesampean lah aku nyicipi es khas Jepara ini, di area jajanan malam di kawasan SCJ, Shopping Center Jepara.



Kalo aku baca di internet, es gempol pleret ini mendapat namanya dari 2 unsur utama didalam esnya, yaitu gempol dan pleret. Gempol terbuat dari tepung beras yg dibentuk bulat, sementara pleret, juga terbuat dari tepung beras, tapi diberi pewarna. Bentuknya pipih lalu dibulatkan. Kemudian diberi kuah santan encer dan gula atau sirup serta es batu. Rasanya segar tidak eneg, dan walau terbuat dari tepung beras, ia tidak terlalu mengenyangkan.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya September 2012, aku dan mas Harry berkesempatan mengunjungi kota Semarang. Disana, es gempol pleret diakui sebagai es khas Semarang. Isinya, tidak berbeda dg yg di Jepara. Sayang, waktu aku disana itu, nggak ada cukup waktu (dan ruang di perutku) utk nyobain es gempol pleret asli Semarang ini.

Yg mengherankan aku, di Solo-pun, es ini disebut sebagai es khas Solo. Teman baruku Ariy, yg kukenal melalui facebook, orang asli Solo yg sudah menulis beberapa buku panduan traveling mengatakan, sejak jaman kakek-neneknya masih muda, es gempol pleret ini sudah terkenal di Solo. Berarti sudah lebih dari setengah abad, lah ya?

That got me thinking... Adakah kota lain di seputaran Jawa Tengah yg juga punya es gempol pleret sebagai es khas kotanya?

Well... aku nggak tau, kota mana yg lebih berhak meng-klaim dirinya sebagai kota yg pertama kali memperkenalkan es gempol pleret ini. Satu yg aku tau, es gempol pleret yg kumakan di Jepara, memang enak. Semoga, suatu saat nanti, aku punya kesempatan lagi untuk memakannya lagi, dan juga nyicipi es gempol pleret di Semarang dan yg di Solo.

Buat kalian yg belum pernah nyoba, dan kalau berkunjung ke salah satu kota ini, Jepara, Semarang atau Solo, coba deh es yg satu ini.