Jumat, 19 Oktober 2012

City Explorer

City Explorer

Tahun 1988, saat masih kuliah tahun kedua, aku berpartisipasi menjadi peserta Program Pertukaran Pemuda Indonesia-Australia. Program yg berdurasi sekitar 4 bulan ini diikuti oleh 16 pemuda-pemudi dari 13 propinsi di Indonesia. Yg laki-laki dari Sumatera Barat, Riau, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku, dan Papua. Sementara yg perempuan dari Lampung, Jakarta (3 orang), Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara. Sebelum kami berangkat ke Australia, kami semua dikumpulkan di Cibubur selama hampir 2 minggu utk mengikuti training persiapannya (PDT = Pre-Departure Training).

Materi training diberikan antara lain oleh pihak Depdikbud (sekarang Diknas, tapi sudah 4 tahun ini dipegang oleh Kemenpora), pihak Deplu, Kedutaan Besar Australia utk Indonesia, dan pihak lain, diantaranya para alumni.

Materi oleh alumni ini kebanyakan berupa latihan kesenian dan sharing pengalaman mengikuti program. Cukup banyak yg harus kami pelajari, misalnya bagaimana nanti saat kami tinggal di keluarga angkat, atau bagaimana nanti kami di tempat kerja (work placement). Selain itu, juga bagaimana kami harus bisa mandiri menggunakan fasilitas umum, yg di Indonesia mungkin (pastinya) belum semaju di Australia. 

Contoh kecil, naik bus kota. Di Indonesia, khususnya di Jakarta (karena aku mewakili Jakarta) bus kota banyak yg rutenya tumpang tindih, baik dg sesama bus kota, maupun dg jenis angkutan lain seperti angkot, Metro Mini, Kopaja, dll. Sudah begitu, tidak ada jadwal yg pasti. Nah, di Australia, rute bus kota hanya sedikit yg tumpang tindih, bus tidak berhenti di setiap halte, dan jadwalnya bisa diandalkan hingga ke hitungan menit! Buat kami2, hal itu bisa menjadi masalah kalau tidak diperkenalkan sejak dini, kan?

Hal lain yg juga perlu dipersiapkan sejak dari Indonesia, adalah kemampuan kami utk menggunakan fasilitas umum sebaik-baiknya, termasuk telepon umum.
Yak... Telepon umum!

Harap diingat, ini kita bicara tahun 1988, ya... Masa dimana jaringan komunikasi belum secanggih sekarang. Jangankan laptop atau tablet, personal computer saja masih jarang. Itupun masih menggunakan sistem DOS. Jangan sebut2 blackberry atau iPhone, telepon umum kartu (bukan koin) saja mungkin masih jarang ada di daerah.

So, bisa dibilang, kami ini 16 pemuda-pemudi kuper dan kamso... Kurang pergaulan, kampungan dan ndeso (ada yg bilang, kamso = come from deso). Hehehehe...

Nah... salah satu materi training yg diisi oleh alumni adalah city exploration. Kami peserta dipasangkan laki-laki & perempuan, lalu tiap pasangan diberi satu tempat yg harus dituju. Bisa berupa tempat wisata, pertokoan atau tempat perbelanjaan, diskotik, dll. Dari Cibubur, kami harus menggunakan fasilitas transportasi umum utk menuju ke tempat yg ditunjuk. Dari tempat itu, kami harus menghubungi alumni di nomor telepon yg ditentukan utk mendapatkan instruksi selanjutnya.

Tujuan dari kegiatan ini adalah diharapkan kami berani bertanya, dan bisa mencapai suuatu tempat di daerah yg tidak kita kenal dg baik. Utk kegiatan ini, aku dipasangkan dg Alfred Audi Kirihio, peserta dari Papua. Tempat yg harus kami tuju adalah pusat perbelanjaan grosir Mangga Dua. Mind you once again, this is the year of 1988, jaman kuda masih gigit besi. Pasar Pagi di Asemka baru saja dipindahkan ke Mangga Dua, dan belum semuanya beroperasi. Aku yg tinggal di Jakarta sejak berumur 3 tahun aja belom pernah nyampe ke Pasar Pagi, apalagi ke Mangga Dua. Apalagi si Alfred, kan? So you may say that it's all up to me.

Kami boleh saja menggunakan taxi, kalau mau gampang. Tapi sayang duitnya,  kan? Hampir semua dari kami masih berstatus mahasiswa yg keuangannya serba terbatas. Mending duitnya disimpan buat ditukar ke dolar Australia dan buat beli oleh2, kan? ;-)

So... Singkat cerita, aku dan Alfred naik angkot dari Cibubur ke terminal Kampung Rambutan. Dari sana, kami nanya2 ke petugas, bus mana yg harus kami ambil kalau kami mau ke Mangga Dua. Mereka bilang, naik bus yg ke Senen. Naik lah kami ke bus yg ke Senen itu. Dari Senen, kami nanya2 lagi, sampe akhirnya kami nyampe di Mangga Dua. Sengaja aku nggak milih2 jenis moda transportasinya, pokoknya asal nyampe aja dulu ke tujuan.

Sampai di Mangga Dua, kami mencari2 telepon umum dan menghubungi alumni. Kami diminta mencari satu bioskop yg ada disana, mencatat film apa yg diputar disana, jam berapa mainnya, dan berapa harga tiketnya. Setelah dapat informasi itu, kami menghubungi lagi panitia menggunakan telepon umum. Sekali lagi kami diminta utk membawa bukti, kali ini tertulis, bahwa kami benar sudah sampai di tujuan. Bisa berupa bon pembelian, atau sobekan karcis parkir, atau apa saja pokoknya ada tulisan "Mangga Dua"nya.

Setelah mendapatkan bukti itu, kami diminta utk berkumpul dg teman2 lain di satu bakery di mall besar di daerah Blok M. Setelah 16 orang terkumpul semua, baru lah kami kembali bersama2 ke Cibubur.

Nah, disini ceritanya mulai menarik... Menarik buat si Alfred, dan menarik buat kuceritakan :-)

Karena sudah tidak ada target yg harus diselesaikan, mulai lah otakku berputar... Ingin juga aku memperkenalkan aneka moda transportasi umum di Jakarta sebanyak2nya pada Alfred. Sejak dia baru datang dari Papua, dia sudah pernah menggunakan taksi dan bajaj. Jadi, dua moda itu aku tidak pilih.

Dari stasiun Kota, aku ingat ada bus tingkat ke Blok M (ingat, ini tahun 1988, masih ada bus tingkat di Jakarta). Terpikir olehku, utk naik bus tingkat ke Blok M. Dari Mangga Dua menuju stasiun Kota, kami naik bemo. Sepanjang perjalanan dari Mangga Dua ke stasiun Kota yg tidak jauh itu, Alfred bolak-balik tertawa geli, karena lutut kami bersentuhan didalam bemo.

Sesampainya di stasiun Kota, mendadak aku ingat kalau dari Senen, ada juga bus tingkat ke Blok M. Sekarang, tinggal mencari moda transportasi dari Kota ke Senen.
Wah, bisa naik KRL (kereta rel listrik) ke Gambir nih, lalu naik bus dari Gambir ke Senen. Masuk lah kami ke stasiun Kota. Kalau boleh dan tidak malu, kurasa Alfred mau saja lompat2 kegirangan karena mau naik kereta api for the first time in his life!!!

Aduh Fred, ini kereta ekonomi, nggak ada enak2nya... Tapi tetep aja, ini adalah pengalaman pertama buat Alfred. So, mulailah ia minta difoto didalam kereta! Well... I don't see any harm doing that. Malu? Iya, sih. Tapi belum tentu juga besok2 aku ketemu lagi sama orang2 yg ada disana saat itu, kan? Hehehehe.
Waktu turun di Gambir pun, Alfred minta difoto di luar gerbong kereta.

Cerita kupersingkat sampai di Senen. Kami khusus menunggu bus tingkat yg masih kosong, supaya bisa memilih duduk diatas. Memang rezekinya si Alfred. Nggak lama kami menunggu, datang lah bus yg kami inginkan. Langsung kami menuju lantai atas, kursi paling depan. Sekali lagi, Alfred berfoto2... Hahahaha...

Sesampainya kami di Blok M, sudah beberapa teman tiba disana. Ada yg baru dari Ancol, ada yg dari diskotik Earthquake di Monas, dll. Tapi Alfred yg senyumnya paling lebar dan punya cerita paling banyak, karena menggunakan beraneka moda transportasi umum di Jakarta.

Later on di Australia, kami berkesempatan naik kereta kelas eksekutif dari Townsville ke Brisbane, 26 jam perjalanan menggunakan kereta di gerbong tidur. Kereta ini jauuuuh lebih enak dari bahkan kereta terbagus di Indonesia. Tapi pengalaman pertama naik kereta (walau cuma KRL) di Jakarta, pasti rasanya lebih manis daripada naik kereta ini. Bukan begitu, Alfred? ;-)

Those memories will always be with me, for the rest of my life. Those experience was just as memorable for you as for me... And it's just between you and me, mate ;-)


3 komentar:

  1. benar-benar kenangan tak terlupakan ya ...

    BalasHapus
  2. Betul.... Sudah berlalu hampir 25 tahun, tapi masih menempel lekat di ingatan.

    BalasHapus
  3. kenapa ya di Jakarta tidak ada lagi bus tingkat?? pengen deh sekali-sekali naik bus itu

    BalasHapus