Pertengahan Januari tahun 2013 yg lalu, ditengah kesibukan menyiapkan
garage sale dan rencana pindah rumah, mas Harry mengajakku berlibur. Walau agak
berat meninggalkan rumah karena banyak yg harus dipikirkan sehubungan dg
rencana penjualan rumah Bapak, pindahan, garage sale dll, aku memang memerlukan
sedikit hiburan utk ‘keluar’ sejenak dari keribetan dirumah. Karenanya, aku
memilih tujuan yg dekat2 saja dari Jakarta, yaitu Cirebon.
Kota yg terkenal dg julukan Kota Udang ini sebenarnya cukup
sering kami lewati. Yak, hanya dilewati dalam perjalanan kami menuju Malang,
atau Bali. Memang kami pernah 2x menginap disana dalam rangka kegiatan klub VW. Tapi padatnya
acara VW membuat kami tidak pernah menjelajah kota, tempat2 wisata dan
kulinernya. Menurutku, inilah saat yg tepat utk benar2 mengenali kota itu. Kami
menjadwalkan perjalanan ini selama 4 hari 3 malam.
Selama kami disana, akhirnya kami berkesempatan mencicipi
makanan khas Cirebon yg sudah lama kubaca review-nya di milis atau blog teman-teman
sesama penggemar kuliner dan jalan-jalan, yaitu nasi Jamblang pelabuhan. Tidak hanya disitu, tapi juga nasi
jamblang di tempat2 lain. Tepatnya, di 4 tempat yg berbeda. Begitu juga dengan
empal gentong. Karena mas Harry gak suka makanan berbahan daging sapi ini, jadi
hanya aku yg makan. Makanya tulisan ini aku beri judul Perang Nasi Jamblang.
Malam pertama kami di Cirebon, rencananya kami akan
mencicipi nasi jamblang Mang Dul, yg menurut review yg kubaca juga merupakan
tempat makan nasi jamblang yg terkenal. Namun kami mendapat masukan dari
pegawai hotel tempat kami menginap mengenai Nasi Jamblang Ibu Nur. Menurut
sepengetahuan mereka, nasi jamblang Mang Dul hanya buka di pagi sampai siang
hari. Tapi nasi jamblang Bu Nur ini buka sampai malam, dan sedang “in” saat
ini. Dan karena secara lokasi memang dekat dg hotel, akhirnya kami memutuskan untuk
mengunjungi Bu Nur di malam pertama itu.
Memang relatif mudah mencapainya. Di jalan Tuparev, hampir
berseberangan dg restoran cepat saji Mc Donald, ada jalanan berbelok kekiri
(ada plank apotik apa, gitu). Itu masuk jl. Cangkring Tengah. Dari belokan itu, kira-kira 500 meter kedalam,
sampailah kita di restoran nasi jamblang Bu Nur di sebelah kanan jalan.
Sebagaimana layaknya penjual nasi jamblang lainnya, kami
disambut dg berbagai jenis lauk dalam baskom kaleng. Malam itu mas Harry
memilih lauk cumi masak hitam, udang goreng saus asam manis, semur tahu dan
perkedel basah (karena ada perkedel kering). Sementara aku memilih telur dadar,
tempe goreng, pepes rajungan dan semur lidah. Dengan minuman jus jambu-jeruk
dan es teh manis, total kerusakan mencapai Rp.49.000,-
Esok harinya, kami menjadwalkan perjalanan ke Gua Sunyaragi
dan Sangkan Hurip utk berendam dg air panas. Kami tiba di Sangkan Hurip
menjelang makan siang (well, masih jam 10.30 sih) tapi perut sudah minta diisi.
Akhirnya, kami berhenti sejenak di warung Abah Oji di pinggir jalan yg menjual
menu makanan empal gentong dan nasi jamblang. Akhirnya, ada kesempatanku utk
mencicipi empal gentong tanpa harus membuat mas Harry “menderita” karena gak
ikut makan, karena dia bisa makan nasi jamblang. Perfect!
Warungnya sederhana sekali. Pilihan lauknya pun tidak
banyak, hanya ada sekitar 12 jenis (dibandingkan dg 35-40 jenis lauk di Bu Nur
dan Mang Dul). Disini, mas Harry memilih lauk telur dadar, tahu goreng,
perkedel dan udang goreng. Tapi menurut mas Harry, lauknya enak, bahkan lebih
enak daripada nasi jamblang Bu Nur semalam. Empal gentongnya pun enak. Sayangnya, aku lupa berapa yg harus kami bayar
pagi itu.
Pulang dari Sangkan Hurip, mas Harry mengajakku berburu
printilan sepeda onthel. Kamipun menuju jl. Fatahillah. Dalam buku wisata
Cirebon yg kubaca, di daerah itu ada empal dengkul yg terkenal. Wah, kebetulan
sekali, seperti sudah diatur, rupanya pasar sepeda itu dekat dg warung Empal
Dengkil Mang Kojek! Jadilah selama mas Harry berburu, aku pun berburu hal yg
lain. Empal dengkul… :-)
Warung pinggir jalannya cukup besar, bersebelahan dg penjual
es kelapa muda. Karena memang bukan saatnya makan, aku hanya pesan empal
dengkul tanpa nasi dan segelas es kelapa jeruk. Untuk rasa, memang enak. Dan
unik karena jarang sekali penjual empal gentong yg menggunakan dengkul sebagai
bahannya. Seporsi empal dengkul, dengan atau tanpa nasi, harganya Rp.20.000,-.
Nasinya pun self service alias ambil sendiri. Mau sedikit atau banyak, atau gak
pake sama sekali, silakan saja. Sementara es kelapa jeruknya Rp.6.000,-
segelas.
Malam kedua itu kami memutuskan mendatangi Mang Dul.
Berdasarkan masukan teman-teman di facebook, rupanya sudah beberapa lama ini
Mang Dul tidak hanya buka dari pagi hingga siang saja, tetapi mereka buka
kembali dari sore hingga malam. Malam agak gerimis tidak membuat kami mundur
dari rencana. Setelah agak nyari2 (karena lokasinya dekat dg perempatan yg
sibuk dan ramai, kami sempat agak kesulitan menemukannya) akhirnya ketemu lah
nasi jamblang Mang Dul.
Sebenarnya gampang aja nyarinya (kalau udah tau…). Lokasinya
di Jl. Cipto Mangunkusumo, di seberangnya Grage Mall, dekat dengan prapatan lampu
lalu lintas.
Disini, mas Harry memilih lauk ceplok, sate kentang, semur tahu
dan ikan tengiri. Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, paru goreng
dan pepes kerang. Plus 2 gelas teh manis hangat, total kerusakan hanya
Rp.29.000,-!!!
Lalu, bagaimana hasil perangnya? Tunggu dulu… masih ada 1
tempat nasi jamblang lagi yg kami datangi. Itulah nasi jamblang pelabuhan yg
terkenal…. Hari terakhir kami di Cirebon, kami sengaja tidak memanfaatkan
fasilitas sarapan di hotel karena ingin mencicipi makanan di tempat ini, yg
katanya hanya buka pagi hari (jam 9 sudah habis!).
Pagi itu, belum mandi (oops… hehehehe) kami bergegas
berangkat kearah pelabuhan. Takut kehabisan lauk! Sampai disana, ternyata
lauknya masih cukup banyak. Mas Harry memilih telur dadar, cumi masak hitam,
perkedel kentang, sate udang dan semur tahu. Dan aku memilih perkedel kentang, cumi masak hitam, telur dadar, tempe
goreng dan semur tahu.
Kesimpulan:
1. Lauk di nasi jamblang pelabuhan cenderung
terlalu asin untuk lidah kami.
2. Pilihan lauk di Mang Dul dan Bu Nur hampir sama
banyaknya. Rasanya pun hampir sama enaknya. Yang membedakan hanya suasana
tempat makannya. Tempat makan di Bu Nur lebih luas dan lega.
3. Tapi dari 4 tempat makan nasi jamblang itu,
menurut lidah mas Harry, juaranya adalah Warung Abah Oji di Cilimus, Kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar