Selasa, 10 Februari 2015

Perang Nasi Jamblang

Pertengahan Januari tahun 2013 yg lalu, ditengah kesibukan menyiapkan garage sale dan rencana pindah rumah, mas Harry mengajakku berlibur. Walau agak berat meninggalkan rumah karena banyak yg harus dipikirkan sehubungan dg rencana penjualan rumah Bapak, pindahan, garage sale dll, aku memang memerlukan sedikit hiburan utk ‘keluar’ sejenak dari keribetan dirumah. Karenanya, aku memilih tujuan yg dekat2 saja dari Jakarta, yaitu Cirebon.

Kota yg terkenal dg julukan Kota Udang ini sebenarnya cukup sering kami lewati. Yak, hanya dilewati dalam perjalanan kami menuju Malang, atau Bali. Memang kami pernah 2x menginap disana  dalam rangka kegiatan klub VW. Tapi padatnya acara VW membuat kami tidak pernah menjelajah kota, tempat2 wisata dan kulinernya. Menurutku, inilah saat yg tepat utk benar2 mengenali kota itu. Kami menjadwalkan perjalanan ini selama 4 hari 3 malam.

Selama kami disana, akhirnya kami berkesempatan mencicipi makanan khas Cirebon yg sudah lama kubaca review-nya di milis atau blog teman-teman sesama penggemar kuliner dan jalan-jalan, yaitu nasi Jamblang  pelabuhan. Tidak hanya disitu, tapi juga nasi jamblang di tempat2 lain. Tepatnya, di 4 tempat yg berbeda. Begitu juga dengan empal gentong. Karena mas Harry gak suka makanan berbahan daging sapi ini, jadi hanya aku yg makan. Makanya tulisan ini aku beri judul Perang Nasi Jamblang.

Malam pertama kami di Cirebon, rencananya kami akan mencicipi nasi jamblang Mang Dul, yg menurut review yg kubaca juga merupakan tempat makan nasi jamblang yg terkenal. Namun kami mendapat masukan dari pegawai hotel tempat kami menginap mengenai Nasi Jamblang Ibu Nur. Menurut sepengetahuan mereka, nasi jamblang Mang Dul hanya buka di pagi sampai siang hari. Tapi nasi jamblang Bu Nur ini buka sampai malam, dan sedang “in” saat ini. Dan karena secara lokasi memang dekat dg hotel, akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi Bu Nur di malam pertama itu.

Memang relatif mudah mencapainya. Di jalan Tuparev, hampir berseberangan dg restoran cepat saji Mc Donald, ada jalanan berbelok kekiri (ada plank apotik apa, gitu). Itu masuk jl. Cangkring Tengah. Dari belokan itu, kira-kira 500 meter kedalam, sampailah kita di restoran nasi jamblang Bu Nur di sebelah kanan jalan.

Sebagaimana layaknya penjual nasi jamblang lainnya, kami disambut dg berbagai jenis lauk dalam baskom kaleng. Malam itu mas Harry memilih lauk cumi masak hitam, udang goreng saus asam manis, semur tahu dan perkedel basah (karena ada perkedel kering). Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, pepes rajungan dan semur lidah. Dengan minuman jus jambu-jeruk dan es teh manis, total kerusakan mencapai Rp.49.000,-



Esok harinya, kami menjadwalkan perjalanan ke Gua Sunyaragi dan Sangkan Hurip utk berendam dg air panas. Kami tiba di Sangkan Hurip menjelang makan siang (well, masih jam 10.30 sih) tapi perut sudah minta diisi. Akhirnya, kami berhenti sejenak di warung Abah Oji di pinggir jalan yg menjual menu makanan empal gentong dan nasi jamblang. Akhirnya, ada kesempatanku utk mencicipi empal gentong tanpa harus membuat mas Harry “menderita” karena gak ikut makan, karena dia bisa makan nasi jamblang. Perfect!

Warungnya sederhana sekali. Pilihan lauknya pun tidak banyak, hanya ada sekitar 12 jenis (dibandingkan dg 35-40 jenis lauk di Bu Nur dan Mang Dul). Disini, mas Harry memilih lauk telur dadar, tahu goreng, perkedel dan udang goreng. Tapi menurut mas Harry, lauknya enak, bahkan lebih enak daripada nasi jamblang Bu Nur semalam. Empal gentongnya pun enak.  Sayangnya, aku lupa berapa yg harus kami bayar pagi itu.

Pulang dari Sangkan Hurip, mas Harry mengajakku berburu printilan sepeda onthel. Kamipun menuju jl. Fatahillah. Dalam buku wisata Cirebon yg kubaca, di daerah itu ada empal dengkul yg terkenal. Wah, kebetulan sekali, seperti sudah diatur, rupanya pasar sepeda itu dekat dg warung Empal Dengkil Mang Kojek! Jadilah selama mas Harry berburu, aku pun berburu hal yg lain. Empal dengkul… :-)



Warung pinggir jalannya cukup besar, bersebelahan dg penjual es kelapa muda. Karena memang bukan saatnya makan, aku hanya pesan empal dengkul tanpa nasi dan segelas es kelapa jeruk. Untuk rasa, memang enak. Dan unik karena jarang sekali penjual empal gentong yg menggunakan dengkul sebagai bahannya. Seporsi empal dengkul, dengan atau tanpa nasi, harganya Rp.20.000,-. Nasinya pun self service alias ambil sendiri. Mau sedikit atau banyak, atau gak pake sama sekali, silakan saja. Sementara es kelapa jeruknya Rp.6.000,- segelas.

Malam kedua itu kami memutuskan mendatangi Mang Dul. Berdasarkan masukan teman-teman di facebook, rupanya sudah beberapa lama ini Mang Dul tidak hanya buka dari pagi hingga siang saja, tetapi mereka buka kembali dari sore hingga malam. Malam agak gerimis tidak membuat kami mundur dari rencana. Setelah agak nyari2 (karena lokasinya dekat dg perempatan yg sibuk dan ramai, kami sempat agak kesulitan menemukannya) akhirnya ketemu lah nasi jamblang Mang Dul.
Sebenarnya gampang aja nyarinya (kalau udah tau…). Lokasinya di Jl. Cipto Mangunkusumo, di seberangnya Grage Mall, dekat dengan prapatan lampu lalu lintas.

Disini, mas Harry memilih lauk ceplok, sate kentang, semur tahu dan ikan tengiri. Sementara aku memilih telur dadar, tempe goreng, paru goreng dan pepes kerang. Plus 2 gelas teh manis hangat, total kerusakan hanya Rp.29.000,-!!!




Lalu, bagaimana hasil perangnya? Tunggu dulu… masih ada 1 tempat nasi jamblang lagi yg kami datangi. Itulah nasi jamblang pelabuhan yg terkenal…. Hari terakhir kami di Cirebon, kami sengaja tidak memanfaatkan fasilitas sarapan di hotel karena ingin mencicipi makanan di tempat ini, yg katanya hanya buka pagi hari (jam 9 sudah habis!).

Pagi itu, belum mandi (oops… hehehehe) kami bergegas berangkat kearah pelabuhan. Takut kehabisan lauk! Sampai disana, ternyata lauknya masih cukup banyak. Mas Harry memilih telur dadar, cumi masak hitam, perkedel kentang, sate udang dan semur tahu. Dan aku memilih perkedel kentang, cumi masak hitam, telur dadar, tempe goreng dan semur tahu.




Kesimpulan:
1.    Lauk di nasi jamblang pelabuhan cenderung terlalu asin untuk lidah kami.
2.    Pilihan lauk di Mang Dul dan Bu Nur hampir sama banyaknya. Rasanya pun hampir sama enaknya. Yang membedakan hanya suasana tempat makannya. Tempat makan di Bu Nur lebih luas dan lega.

3.    Tapi dari 4 tempat makan nasi jamblang itu, menurut lidah mas Harry, juaranya adalah Warung Abah Oji di Cilimus, Kuningan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar