Idul Fitri tahun ini diwarnai dg isu pertanyaan basi-basi,
“Kapan nikah” (untuk yg belum menikah), atau pertanyaan “Kapan punya anak”
(untuk yg sudah menikah tapi belum punya anak). Bahkan sampai dg pertanyaan
“Kapan si kakak punya adek” (buat yg baru punya anak 1 orang). Entah apa
alasannya orang menanyakan hal itu. Bisa jadi karena memang peduli, atau
sekedar basa-basi, atau entah alasan lainnya. Yah, anggap saja, itu pertanyaan
basa-basi, sekedar ice breaker dalam percakapan tapi yg jayus alias garing.
Kalau pertanyaan2 diatas tadi dianggap basa-basi yg bikin
hati galau atau sebel, maka ada lagi 1 jenis basa-basi, tapi yg ini bikin orang
(paling tidak, aku) bingung. Basa-basi bilang enggak mau, padahal mau.
Teman-teman bingung gak kalo ketemu dg situasi seperti itu? Ada 1 kejadian yg
baru aja aku alami sehubungan dg basa-basi bikin bingung ini.
Hari Minggu sore kemarin, kami berdua mampir kerumah Mami.
Niatnya cuma sebentar aja, sekedar mau nganter kaastengel buat Mami. Tapi
ternyata Mami lagi kedatangan tamu, anak dari kakak sepupunya. Jadi lah kami
tertahan untuk menemani dan ngobrol dg Mas A dan Mbak A. Sampai tiba saatnya
shalat Maghrib.
Selesai shalat Maghrib, belum ada tanda2 sang tamu akan
pulang. Maka aku (mewakili Mami sebagai tuan rumah) sepantasnya menawarkan mereka
untuk turut kami makan malam. Tamu berdua itu mengatakan, “Oh, ndak usah.
Terima kasih.”
Kupikir, mungkin mereka akan segera pulang karena ada acara
makan2 di tempat lain. Jadi aku ya ndak maksa. Tapi karena kupikir aku dan mas
Harry akan lama disana (menemani mereka), jadi aku tetap utusan pembantu utk
beli lauk ke rumah makan dekat rumah. Paling tidak lauk itu buat Mami, mas
Harry dan aku.
Setelah lauknya datang dan diwadahi, aku ya ndak menawarkan
pada tamu2 Mami itu. Kan tadi mereka bilang ndak mau? Dan kami teruuus ngobrol
dg sang tamu, Mami ikut mendengarkan dan sesekali menimpali.
Jam 19 lewat… tamu2nya masih bertahan… Jam 20 sudah lewat,
belum ada tanda2 tamunya akan pulang. Sampai jam 21, tamunya kok masih betah
ngobrol ya? Sementara aku sudah laper.
Ah, akhirnya aku putuskan aku akan minta ijin pada mereka
kalo aku mau makan. Laper, bo… Tapi aku tetap menawarkan ke mereka utk ikut
makan. Eh, lha kok ya tamunya mau makan…!!
Disitulah aku baru menyadari, rupanya mereka menjawab “Ndak
mau” waktu awal aku tawari itu hanya sekedar basa-basi khasnya orang Jawa…
Ya ampuuun… mendadak aku merasa ndak enak hati karena sudah
menunda waktu makan mereka (dan kami) selama hampir 3 jam!!!! Aduuuuh… pernah
gak teman-teman mengalami hal yg sama denganku???
Kalo sudah begini, aku jadi suka gemes sama orang Jawa deh.
Eh, maaf ya, aku bukan bermaksud SARA atau sejenisnya. Aku sendiri dari Jawa.
Maksudku, orangtuaku dan nenek moyangku aslinya orang Jawa. Jadi boleh dong aku
mengaku sebagai orang Jawa? Tapi mungkin ke-Jawa-anku sudah mencair (tidak
terlalu kental lagi) karena aku sudah tinggal di Jakarta sejak berusia 3 tahun.
Sejak pindah ke Jakarta itu, Bapak-Ibuku mengajak kami berempat bersaudara
berbahasa Indonesia dirumah. Dan
Bapakku, karena pekerjaannya, sering ditugaskan ke luar negeri. Sedikit banyak,
adalah pemikiran a la orang Barat yg diterapkan dirumah. Misalnya, saat makan
malam, kami sering berbagi cerita.
Kalo denger cerita Mami waktu masih kecil,
jaman Mami masih anak2, di meja makan dilarang saling berbicara. Makanan di
piring orangtua sering bersisa, lalu sisanya itu dibagikan ke anak2nya.
Dianggap membawa berkah karena sudah dibacakan doa oleh orangtua. Iiih… kalo
aku sih, nggak bakalan mau, deh…
Intinya, walaupun keluarga besarku baik dari pihak Bapak
maupun Ibu dari suku Jawa, tapi didikan Jawa dirumah Bapak-Ibuku tidak
se-saklijk didikan Jawa jaman dulu. Soal basa-basi juga sudah berkurang. Kami
diajarkan utk bilang “A” kalau memang maksudnya “A”, atau bilang “B” kalau
memang maunya “B”. Jadi, begitu ketemu orang yg suka basa-basi bilang “A”
padahal maunya “B”, aku suda keder sendiri, jadi orang yg gak peka. Maaf deh,
aku kan bukan orang yg bisa membaca pikiran…
Salah gak sih, kalo aku beranggapan sudah bukan jamannya
lagi untuk berbasa-basi yg bikin bingung itu. Tapi lantas apakah itu termasuk
penghapusan budaya?
Pertanyaannya lagi, apakah berbasa-basi yg begitu itu termasuk budaya (Jawa)? Atau adakah budaya daerah lain yg juga suka berbasa-basi begini?
Jaman sudah modern. Perbedaan waktu per menit sudah bisa
memberi hasil yg berbeda. Masih perlukah kita berbasa-basi yg bikin bingung
begini? Sharing, yuuk….
Cerita ini sudah pernah di-post di facebook-ku tanggal 13 Agustus 2013, saat Mami masih ada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar